harianmerapi.com - Pernikahan Siti dan Wahid (nama samaran) adalah karena perjodohan. Siti mulanya merasa seolah-olah dijebak oleh bapaknya sendiri.
Dia yang bekerja di Jakarta mendadak diminta bapaknya untuk pulang. Mengira bahwa ada masalah urgen, Siti menuruti.
Tidak disangkanya, bapaknya sudah mengatur perjodohannya dengan anak mantan kepala desa.
Baca Juga: Syahrut Tarbiyah, Mendidik Diri dan Umat Selama Bulan Ramadhan
Saat itu tentu saja dia sudah menolak mentah-mentah. Pula karena dia sudah memiliki seorang kekasih. Namun bapaknya mengotot. Ibunya terus membujuk.
Bahkan bapaknya mengancam bahwa hidupnya berada di genggaman Siti. Sebab bapaknya sudah kadung menerima lamaran. Malu yang sangat apabila mengingkari.
Mau tidak mau, Siti akhirnya mencoba ikhlas menjalani pernikahannya. Siti berupaya menerima Wahid apa adanya.
Bahwa Wahid lelaki yang kurang mandiri, bukan pekerja keras dan sehari-harinya hanya menunggu warung.
Baca Juga: Tips Menurunkan Kolesterol, Begini Penjelasan Ketua Satgas Covid-19 IDI Prof Zubairi Djoerban
Di tahun pertama pernikahannya, Siti berharap dengan kelahiran anak yang dikandungnya nanti, bisa mengubah watak dan sikap Wahid.
Akan tetapi hingga usia anaknya empat tahun, Wahid tidak kunjung berubah. Wahid masih saja terus-menerus tergantung secara finansial kepada keluarganya.
Siti jengah. Hatinya berkecamuk. Dia akhirnya memilih purik. Untuk kesekiankalinya, dia pulang ke rumah orang tuanya.
Mengadu pada keluarganya bahwa dia sudah tidak sanggup bertahan lagi. Dia menganggap pernikahannya sudah tidak memiliki masa depan.
Sebagai seorang mudin (Kaur Kesra), bapak dari Siti merasa dilema. Dia yang biasa membantu mengurus perceraian warganya tetapi pada akhirnya dia dihadapkan pada hal serupa. Tentang akhir pernikahan putrinya sendiri.
Baca Juga: Kangen Nyasar di Jogja dan Bayi tak Mau Menetek Ibu Saat Persalinan di Rumah Sakit Ternyata Tertukar