HARIAN MERAPI - Nyadran di makam Kyai Ageng Karotangan 5, beliau bersama pengikutnya memutuskan tidak kembali ke Kerajaan Mataram
Konon, menurut kisahnya, ketika merasakan kedua tangannya pegel-pegel, Kyai Ageng Karotangan beristirahat. Sambil istirahat dia memijat (nge-meg-meg) kedua tangannya.
Setelah dipijat rasa pegalnya hilang. Untuk mengenang kejadian itu maka dia menamakan tempat itu ‘Megelang’ maknanya ”dimeg-meg pegele ilang,” dan akhirnya menjadi Magelang.
Setelah Kyai Ageng Karotangan usai babat alas di dataran Kedu/Magelang, dia pergi ke arah selatan untuk pulang kembali ke Mataram.
Namun ketika tiba di suatu wilayah di kaki barat Gunung Merapi, dia menjumpai beberapa mata air. Sampai kini mata air itu masih ada yaitu Mataair Combrang dan Cebol di desa Paremono.
Di sini dia melihat hamparan tanaman padi yang tumbuh subur. Persawahan ini sekarang disebut sawah Jomblang, di sebelah selatan dusun Paremono.
Di sini dia bertemu dengan seorang petani warga desa itu bernama Kyai Jomblang. Kyai Ageng Karotangan heran, karena di daerah ini terdapat hamparan luas tanaman padi. Kemudian dia berkata, “Wis ana pari.” (Sudah ada padi).
Versi ceritera yang lain menyebutkan, ketika Kyai Ageng Karotangan melihat banyak sumber air dengan tanah yang subur, kemudian dia pergi ke Kedu untuk minta bibit padi rajalele kepada Kyai Ageng Makukuhan.
Permintaan itu dikabulkan dan disuruh mengambil sendiri bibit padi itu secukupnya. Dengan menggunakan tangan Kyai Ageng Karotangan mengambil bibit padi itu di sawah lereng Gunung Sumbing dan dilemparkan ke arah selatan.
Lemparan bibit padi itu jatuh di dekat sungai kecil di perbatasan desa yang kini bernama Paremono dengan Rambeanak. Di sini bibit padi itu tumbuh subur dan menjadi tanaman andalan petani.
Baca Juga: Nyadran di makam Kyai Ageng Karotangan 3, memperdalam agama Islam pada Sunan Ampel
Menjumpai sebuah desa dengan pemandangan yang indah dan tanahnya subur, Kyai Ageng Karotangan dan para pengikutnya memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram di Mentaok.
Dia memutuskan untuk bertempat tinggal di daerah ini. Kini daerah ini kini dikenal dengan nama desa Paremono, dari asal kata “pari” (padi) dan “ana” (ada), berubah menjadi “pariana” dan akhirnya “paremana” (yang ditulis “Paremono”).