Ada keraguan dalam batin Sita, manakala Karman mengajukan usul agar mereka menikah siri. Tentunya yang diinginkan bisa menikah secara resmi, sekalipun harus menjadi istri kedua.
Toh ibunya dulu juga bertatus sebagai istri kedua, meski akhirnya ditinggal ayahnya begitu saja. Sempat terbayang di benak Sita, nasibnya mirip dengan ibunya. Namun ia berharap nantinya Karman tidak meninggalkan dirinya.
Pemikiran seperti itu membuat Sita gamang jika harus menikah siri. Sita bisa membayangkan nasib dirinya nanti akan menggantung dan sangat mungkin bakal ditinggal suami kelak.
Begitu pula dengan anaknya, akan kesulitan mendapatkan status.
Apalagi sebenarnya nikah siri juga tidak termaktub dalam hukum negara, begitupun dalam hukum Islam masih ada perdebatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menganjurkan agar umat tak menikah siri dan memilih pernikahan resmi sesuai hukum yang berlaku.
Hadis Nabi; "Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi).
Tapi keputusan harus segera diambil, mengingat perutnya yang sudah semakin besar. Sita tak ingin anaknya lahir tanpa ayah, sehingga risiko apapun dirinya siap menerima.
Dan pilihan terakhir adalah dengan melangsungkan nikah siri.
Setelah mencari informasi kesana-kemari, akhirnya Karman berhasil menemukan orang yang bersedia menjadi penghulu nikah siri.
Karman maupun Sita tak memikirklan apakah pernikahan itu sudah sah menurut agama atau tidak. Yang pasti saat itu hanya ada penghulu dan saksi teman Karman sendiri. Dan setelah itu, mereka berdua sudah merasa seperti suami istri yang sah. *