Tiba tiba ada gelombang yang besar dan putuslah jalan tersebut Satpam lalu menghilang. Pak Giran jatuh ke dalam laut.
Kebetulan waktu itu ada kapal kecil pencari ikan. Kapal tersebut yang menolong Pak Giran. Kemudian Pak Giran diturunkan di pantai. Di pantai banyak orang yang menolong Pak Giran dan Pak Giran diantar sampai ke rumahnya.
Untuk memulihkan kesehatannya Pak Giran berobat di rumah sakit. Setelah sembuh ia bekerja seperti biasanya. Namun warungnya sepi bahkan kerap kali rugi.
Kekayaannya semakin menipis karena dihambur-hamburkan oleh anak-anaknya dan istri sirinya. Tanahnya habis terjual bahkan rumah mewahnya di kota juga sudah terjual.
Pak Giran sendiri sakit sakitan dan keluar masuk rumah sakit. Malam Jum’at Kliwon tampak cahaya kuning di depan rumah Pak Giran di belakang Cahaya itu ada kereta kencana diparkir di depan rumah Pak Giran.
Tidak antara lama terdengar teriak :”Aku matek”. Suara itu dari Pak Giran. Tidak antara lama Pak Giran meninggal dunia, anak anaknya perempuan menangis sehingga mengundang tetangganya berdatangan.
Pak Giran meninggal dunia karena melanggar janji yang telah disepakati bersama yaitu Pak Giran dengan Nyi Nawangsih.
Pak Giran sanggup menyediakan tumbal tetapi sampai lama tidak memberikan tumbal maka Pak Giran sendiri sebagai tumbal.
Nyi Nawangsih itu temannya Nyi Blorong sedangkan Nyi Blorong adalah panglima tentara Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan. Jadi itu semua merupakan pembelajaran bagi kita semua jangan sampai terjerumus dalam godaan setan.
Perlu diketahui bahwa perjanjian dengan Setan (Nyi Nawangsih) tidak bisa dibatalkan.
Lebih baik mencari rejeki itu jadi tukang becak, pembantu rumah tangga, buruh serabutan itu halal daripada kaya dengan mencari pesugihan yang akan mencelakakan. (Dikisahkan Drs Subagya di Koran Merapi edisi 4 Februari 2025) *