SEORANG ibu muda mencuri kotak infak di sebuah konter HP kawasan Banguntapan Bantul viral di media sosial (medsos). Dalam video yang beredar di medsos, ibu tersebut berpura-pura membeli HP, namun belakangan menggeser-geser kotak infak kemudian menguras isinya.
Beberapa hari kemudian, setelah viral, polisi bergerak dan berhasil mengamankan pelaku, yakni E (33), warga Kretek Bantul.
Saat diinterogasi E terus terang mengakui mengambil isi kotak infak total Rp 125 ribu dan telah habis dibelanjakan untuk beli susu buat anaknya yang masih usia 19 bulan. E dijemput polisi di tempat kerjanya sebagai pegawai laundri di kawasan Condong Catur Depok Sleman.
Baca Juga: Fan Argentina rela antre demi dapatkan tato Messi dan trofi Piala Dunia 2022
Inilah hebatnya kekuatan medsos yang berhasil memviralkan aksi pencurian yang dilakukan seorang perempuan muda. Tentu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kasus tersebut. Bukan bermaksud untuk membenarkan aksi E yang mencuri infak untuk membeli susu buat anaknya, melainkan untuk memperlihatkan betapa masih ada warga yang kekurangan dan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Mencuri, dengan alasan apapun tetap tidak dibenarkan hukum. Namun, yang lebih menarik, mengapa E nekat mencuri ? Andai ia punya cukup uang untuk membeli susu buat anaknya, misalnya, mungkin tak perlu mencuri.
Lebih menarik lagi, infak yang dikumpulkan pemilik konter HP tersebut buat siapa dan untuk kepentingan apa ? Bukankah infak itu nantinya diberikan kepada mereka yang tidak mampu secara ekonomi alias kaum duafa ? Bukankah E juga termasuk kaum duafa, sehingga terpaksa harus mencuri ?
Baca Juga: Boxing Day Liga Inggris, Liverpool menang 3-1 di kandang Aston Villa
Tentu saja infak tersebut bukan milik pengeola konter HP. Pengelola atau pemilik konter HP hanyalah mengumpulkan saja dana dari orang-orang yang mau berderma, sedangkan uang yang terkumpul bukan hak dia, melainkan hak orang miskin atau tidak mampu.
Nah, yang jadi soal adalah pencuriannya itu sendiri. Kalaupun E berhak atas uang infak, namun untuk mendapatkannya tentu bukan dengan cara mencuri, melainkan dengan cara yang benar, melalui pihak yang mengurusi infak.
Uang Rp 125 ribu tidaklah seberapa dan tidak signifikan kalau sampai membawa E ke penjara. Artinya, kasus tersebut tak perlu diproses hingga ke pengadilan. Cukup diselesaikan secara musyawarah atau kini lebih dikenal dengan istilah restorative justice.
Baca Juga: Gasak West Ham 3-1 di laga Boxing Day, Arsenal kokoh di puncak klasemen Liga Inggris
Kasus ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi para pengambil kebijakan bahwa fakir miskin masih ada di sekitar kita dan mereka butuh santunan agar tidak berbuat kriminal. (Hudono)