HARI-hari belakangan ini masyarakat terbelah terkait prokontra revisi UU KPK. Di satu kubu mendukung usulan revisi UU KPK, sedang di kubu lainnya menentang karena akan melemahkan lembaga antirasuah ini. Namun, dipastikan revisi UU KPK itu tetap dibahas di DPR bersama pemerintah, dalam hal ini diwakili Menkumham.
Semula masyarakat dan kalangan intelektual mendesak Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) guna membahas revisi UU KPK bersama DPR. Namun apa daya, Presiden tetap mengeluarkan surpres, sehingga mau tak mau revisi UU tetap dibahas DPR bersama pemerintah.
Di tengah kontroversi itu, demo masih marak di berbagai daerah. Dua kubu saling klaim sebagai pihak yang benar sehingga memunculkan ketegangan di masyarakat. Agaknya, energi bakal terkuras untuk mengikuti pembahasan RUU KPK ini. Namun demikian, publik tak boleh lengah, melainkan harus mengingatkan DPR dan pemerintah untuk tidak main-main dengan pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi sepertinya juga tak kuasa melawan tekanan dari parpol yang menginginkan agar UU KPK direvisi. Terlebih, selama ini lembaga tersebut telah banyak memenjarakan para wakil rakyat. Apakah ini sebagai bentuk balas dendam DPR kepada KPK, tak ada yang bisa menjawab secara pasti.
Kita khawatir dengan dikuranginya kewenangan KPK, antara lain dalam hal penyadapan (harus izin dewan pengawas) dan penuntutan (harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung), akan memperlemah pemberantasan korupsi. Selain itu, kehadiran lembaga baru, yakni dewan pengawas dinilai malah membuat kerja-kerja KPK ribet dan tidak efektif.
Lebih ironis lagi, kasus-kasus korupsi yang menjadi perhatian publik tidak lagi diprioritaskan, artinya tidak ada beda dengan kasus lainnya. Mungkin ini babak baru pelemahan KPK. Meskipun banyak guru besar, termasuk dari LIPI, tidak setuju dengan revisi KPK, ternyata suara mereka tidak didengar.