POLEMIK seputar kenaikan tarif naik Candi Brobudur hingga Rp 750.000 perorang belum berakhir. Meski belakangan Menteri Koordinator Bidang Kamaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan menunda kebijakan tersebut, namun suara protes masih terdengar.
Luhut pun ngeles, setelah banyak kritik pada dirinya, ia menyatakan menunda pemberlakuan kebijakan kenaikan tarif naik Candi Borobudur itu hingga satu tahun.
Bahkan, ketika banyak mendapat ktirik, terutama dari kalangan DPR, ia malah membalas kritik itu dengan pernyataan agar DPR jangan mencari popularitas dengan mengkritik dirinya. Nah, siapa sebenarnya yang cari popularitas ? Siapa yang menaikkan tarif naik candi hingga tidak wajar ?
Baca Juga: Jenazah Eril Ditemukan di Bendungan Engehalde Bern Swis, Yellow Notice Segera Ditutup
Luhut masih bertahan dan ngeles bahwa ia hanyalah pelaksana dan menurutnya, kenaikan tarif naik Candi Borobudur hingga Rp 750.000 sudah melalui kajian yang komprehensif.
Selain itu, kenaikan juga sudah mempertimbangkan berbagai hal termasuk membandingkan dengan tarif masuk situs heritage di dunia. Benarkah ?
Tengok saja, tarif masuk Wat Arun, candi Buddha di Bangkok Thailand hanya 50 Thai Bahat atau setara Rp 21.050. Selanjutnya, Tembok Besar China hanya antara CNY 25 – CNY 65 atau Rp 54.400 – Rp 141.200 perorang. Kemudian Taj Mahal India tarifnya 1100 rupee atau setara 124.000. Ada juga Piramida Agung Giza yang tarifnya 400 Egyptian Pounds atau setara Rp 309.200 perorang. Selain itu, juga ada Menara Miring Pisa, Italia yang tarifnya 18 Euro atau setara Rp 279.000.
Baca Juga: The Rain Rayakan Perjalanan 20 Tahun dengan Tur Antar Kota
Nah, semua tarif masuk dan naik di situs heritage tingkat dunia itu jelas di bawah tarif naik Candi Borobudur yang dipatok pemerintah Indonesia Rp 750.000. Lantas, situs heritage mana yang dibandingkan Luhut dengan Candi Borobudur ?
Agaknya Luhut memang belum ikhlas dikritik, ia bukan mencabut kebijakan tarif naik Candi Borobudur yang kontroversial itu, melainkan hanya menundanya hingga 1 tahun. Artinya, setahun mendatang boleh jadi kebijakan tersebut akan dijalankan. Atau menunggu masyarakat lupa atau terlena ? Entahlah.
Menuding anggota DPR mencari popularitas dengan cara mengkritik dirinya tentu juga tidak bijaksana. Luhut tidak melihat pada substansi atau materi yang dikritik, melainkan pada gaya penyampaian kritik. Padahal yang penting adalah substansinya bahwa tarif naik Candi Borobudur tak boleh membebani masyarakat. (Hudono)