KASUS dugaan perkosaan atau setidak-tidaknya kekerasan seksual yang menimpa 3 mahasiswi UMY akhirnya berbuntut sanksi akademik terhadap terduga pelaku, MKA, yakni di-drop out (DO) dari kampusnya.
MKA yang notabene aktivis lembaga kemahasiswaan ini pun mengakui terus terang perbuatannya. Hanya saja, sejauh ini belum jelas penanganan hukumnya di kepolisian.
Paling tidak, pihak UMY telah melakukan investigasi sebagai respons atas unggahan di media sosial tentang terjadinya perkosaan yang melibatkan MKA. Sedang korbannya diduga tiga mahasiswi dan pelanggaran kesusilaan itu telah dilakukan sejak 2018. Sementara korban terakhir atau ketiga mengalami kekerasan seksual sekitar tiga bulan lalu.
Baca Juga: Lawan Lyon di Liga Prancis, PSG Masih Tanpa Lionel Messi, Ini Alasannya
Kasus ini terungkap setelah beredar unggahan percakapan antara pelaku dan penyintas di media sosial hingga menjadi viral. Dari situlah tim UMY melakukan investigasi hingga sampai pada kesimpulan telah terjadi kekerasan seksual terhadap tiga mahasiswi oleh MKA. Selanjutnya UMY menyerahkan penanganan kasusnya kepada polisi. Mahasiswi UMY diperkosa adalah persoalan pidana, bukan hanya akademik.
Kasus semacam itu sebenarnya bukan fenomena baru. Bahkan, banyak kasus pelecehan seksual yang terungkap setelah diunggah di media sosial, bukan media mainstream. Ini sekaligus menunjukkan betapa kuatnya pengaruh medsos sehingga bisa digunakan sebagai bahan mengambil keputusan.
Tentu saja, unggahan di medsos masih harus diverifikasi kebenarannya. Sehingga jangan sampai putusan itu hanya didasarkan pada unggahan medsos semata.
Baca Juga: Asupan Berbahan Jambu Kristal Hindarkan Serangan Influenza dan Sembelit
Melihat kronologinya, sebagaimana diunggah di medsos, khususnya korban yang ketiga, sebenarnya ada kesempatan bagi korban untuk terhindar dari kejahatan. Apalagi, saat itu korban sedang haid.
Korban merasa dibohongi pelaku yang katanya mau mengajak rapat, tapi malah dibawa ke indekosnya dan di tempat itulah peristiwa terjadi. Karena tertekan, korban sampai membersihkan darah haidnya sebelum kejadian.
Tanpa bermaksud memojokkan posisi korban, tentu ini sebagai bahan introspeksi bagi perempuan, saat itu korban sebenarnya masih punya kesempatan untuk melawan atau menghindar, misalnya dengan berlari minta pertolongan kepada tetangga atau siapapun yang berada di sekitar tempat itu.
Baca Juga: 5 Ciri Penipuan Online, Masyarakat Harus Waspada
Namun, sebagaimana ditulis dalam akun yang kemudian viral itu, karena terdesak dan ada kuasa relasi yang timpang, korban membersihkan darah haidnya hingga kemudian terjadi perkosaan.
Pemberian sanksi DO kepada pelaku tentu tidaklah cukup, dan itu bukanlah penyelesaian hukum, sebab, kalau memang ada dugaan perkosaan atau setidak-tidaknya kekerasan seksual, maka polisi harus proaktif, tanpa menunggu laporan korban.
Apakah kemudian ditemukan fakta perkosaan atau kekerasan seksual, menjadi kewenangan polisi untuk mengkualifikasikannya. Setidaknya, pengakuan pelaku akan mempermudah polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. (Hudono)