SEORANG pria warga Kemadang Tanjungsari Gunungkidul ditemukan tewas gantung diri di dapur rumahnya. Diduga ia mengalami depresi setelah bercerai. Namun terkait persoalan apa, sehingga ia bercerai, masih didalami polisi.
Sang ayah tak kuasa menolong karena sudah mendapati anaknya tidak bernyawa, tergantung di dapur.
Ayahnya hanya bisa minta pertolongan kepada tetangga dan lapor polisi usai kejadian. Kasus ini tentu tak berlanjut karena tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan, sehingga murni bunuh diri.
Baca Juga: Horoskop ramalan karir dan keuangan zodiak Aries, Taurus dan Gemini, Minggu 20 November 2022
Ini adalah kasus yang ke sekian kalinya di Gunungkidul. Seperti diketahui, angka bunuh diri di Gunungkidul sangat tinggi.
Hampir setiap bulan terjadi kasus bunuh diri. Wajar bila kemudian Pemkab setempat bersama tokoh masyarakat membentuk Satgas antibunuh diri. Tapi sejauh mana efektivitas Satgas tersebut masih dipertanyakan.
Mengapa ? Karena kasus bunuh diri di Gunungkidul tak kunjung turun, sebaliknya trennya malah meningkat. Kita memang tak buru-buru menyalahkan Satgas yang gagal mencegah peristiwa bunuh diri di Gunungkidul. Banyak faktor yang menyebabkan kasus tersebut terus terjadi, sehingga diyakini bahwa kejadian bunuh diri bukanlah akibat faktor tunggal.
Baca Juga: Kabag Ops Polres Salatiga dijabat 'wajah lama' di Salatiga
Tapi tentu tak ada salahnya bila perlu dilakukan evaluasi terkait kinerja Satgas agar ke depan lebih efektif. Misalnya, terkait dengan pemetaan daerah rawan, yakni di permukiman yang penduduknya tergolong miskin atau berada di bawah garis kemiskinan.
Sebab, bila kita cermati, umumnya pelaku bunuh diri ekonominya belum mapan atau miskin. Diduga kuat hal ini mempengaruhi seseorang untuk berbuat nekat. Bahwa orang tersebut mengalami depresi setelah bercerai seperti kasus di atas, misalnya, itu hanyalah pemicu atau triger saja. Namun persoalan pokoknya tetap pada kemiskinan.
Secara psikologis, orang yang baru bercerai akan terguncang jiwanya, bahkan bisa berdampak depresi. Jika secara ekonomi dia kuat, maka relatif banyak pilihan sehingga depresi tidak berlarut-larut, misalnya memilihkan terapis yang andal sehingga cepat terehabilitasi dan tidak berujung tindakan nekat seperti bunuh diri.
Tentu kondisinya berbeda dengan orang miskin yang notabene tidak banyak pilihan. Kondisi ekonomi yang menghimpit, membuatnya tidak banyak pilihan. Hal itu masih ditambah dengan lemahnya iman, sehingga bisa berdampak serius berupa kenekatan.