KASUS pencabulan terhadap 5 santriwati di Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur menggegerkan dunia pendidikan, khususnya pesantren. Apalagi pelakunya adalah seorang guru yang juga pengurus pesantren tersebut.
Tak hanya itu, pelaku yakni Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi (42), adalah adalah anak kiai pengasuh pesantren tersebut, yakni Kiai Haji Muhammad Mukhtar Mu’thi.
Kasus ini kembali heboh setelah jajaran Polda Jatim hendak menyerahkan Bechi ke kejaksaan karena berkasnya sudah lengkap. Bechi awalnya mangkir dan tidak kooperatif. Bahkan ratusan santri ponpes tersebut menghalangi polisi menjemput Bechi.
Baca Juga: Laporan dari Mekkah, Haji Akbar jadi momentum jaga persatuan dan kesatuan bangsa
Hingga akhirnya, setelah dilakukan pendekatan kekeluargaan, Bechi menyerahkan diri dan langsung ditahan di Mapolda Jatim.
Sebenarnya kasus ini terhitung lama, karena kejadiannya sudah sekitar 5 tahun lalu atau tahun 2017. Kasusnya baru diproses di kepolisian tahun 2020 dan berkas dinyatakan lengkap oleh kejaksaan atau P21 pada 2022 ini.
Orang awam akan mudah mengatakan bahwa proses hukum terhadap Bechi lamban, karena peristiwanya terjadi pada tahun 2017. Boleh jadi, banyak hambatan yang dihadapi aparat kepolisian sehingga proses hukumnya memakan waktu cukup lama. Beruntung kasus ini tidak dipetieskan.
Kasus Bechi menjadi fenomenal di saat Kementerian Agama sedang menyusun aturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Rancangan peraturan tersebut sedang digodok dan nanti produknya berbentuk Peraturan Menteri Agama (PMA).
Peraturan yang akan diterbitkan Kementerian Agama ini harus mengacu pada peraturan di atasnya yakni UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan April lalu. Namun, apakah dengan tiadanya aturan tersebut lantas kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, tak dapat diusut ?
Tentu tetap dapat diusut, yakni mengacu pada aturan hukum umum, yakni KUHP khususnya yang mengatur tindak pencabulan maupun perkosaan (285 KUHP). Bila korbannya masih anak-anak, harus merujuk pada UU Perlindungan Anak.
Jauh lebih penting adalah pengawasan di pesantren harus diperketat. Kasus pencabulan di Pondok Pesantresn Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, memang tak bisa digeneralisasi, karena masih banyak pesantren yang menjalankan kegiatannya secara benar.
Ada ironi dalam kasus Bechi, karena pelaku ini adalah guru sekaligus pengurus yang seharusnya mengayomi dan melindungi santrinya, bukan sebaliknya. Dia sebenarnya juga berperan sebagai pengawas di pesantren tersebut. Sehingga, pelajaran ke depan, pengawas pun harus diawasi.