NASIB AA (20) warga Caturharjo, Sleman mungkin lagi apes. Ia menjadi korban pengeroyokan 14 orang tak dikenal di Jalan Tempel-Seyegan, Klegung, Banyurejo, Sleman Sabtu (12/2) malam lalu.
Tak hanya itu, motornya juga dirusak para pengeroyok. Peristiwa itu terjadi seusai AA mengikuti acara reuni dengan teman-temannya.
Yang mengherankan, motif pengeroyokan tak jelas. Tahu-tahu AA dibuntuti sekitar 7 motor dan beberapa pengendaranya menanyakan asal sekolahnya. Lantaran takut, AA tancap gas hingga kemudian terjadi aksi pengeroyokan. Untung aksi barbar pengeroyok terhenti setelah warga berdatangan dan membantu korban.
Baca Juga: Indra Kenz Minta Maaf dan Akui Binomo Ilegal, Tegaskan Tak Akan Lari dari Proses Hukum
Barulah pada pagi harinya kasus tersebut dilaporkan korban ke polisi. Melihat modusnya, aksi pengeroyok mirip klitih. Menyerang dan menganiaya orang tanpa alasan jelas. Yang penting melukai orang lain. Namun, mereka masih sempat menanyakan asal sekolah korban. Dari peristiwa ini, boleh jadi, pelaku punya sentimen atau dendam kepada sekolah tertentu.
Sehingga, AA hanya menjadi semacam objek pelampiasan dendam. Tapi apapun itu, aksi mereka kelewatan dan harus diproses hukum. Tindakan main hakim sendiri semacam itu tak dibenarkan dan harus ditindak.
Apalagi, saat ini polisi sedang gencar-gencarnya memberantas klitih. Untuk meringkus pelaku klitih memang butuh partisipasi masyarakat, karena umumnya pelaku beraksi saat polisi tak berada di lokasi. Masyarakat hendaknya tak keberatan memberi keterangan atau menjadi saksi atas tindak kejahatan.
Baca Juga: Oknum Mahasiswa Bantah Perkosa Pelajar, Pelaku: Persetubuhan Suka Sama Suka
Dalam beberapa kasus, saking jengkelnya, acap justru masyarakat yang main hakim sendiri terhadap pelaku klitih. Bila pelaku klitih tertangkap, hampir dipastikan babak belur dihajar masyarakat. Anehnya, pelaku klitih tak juga kapok. Mereka tetap menebar teror di masyarakat.
Jika demikian, butuh kolaborasi antara polisi dan masyarakat dalam memerangi klitih. Kita mendorong aparat kepolisian lebih tegas lagi menghadapi klitih, kalau perlu terapkan kebijakan tembak di tempat seperti pernah digulirkan jajaran Polda DIY beberapa waktu lalu. Yang penting, semua terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Intinya, Yogya harus dibersihkan dari aksi klitih yang belakangan sangat meresahkan masyarakat. Orang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba dianiaya, dibacok dan sebagainya. Sungguh ironis kalau ini terjadi di Jogja yang masyarakatnya dikenal santun dan penuh persahabatan.
Lebih dari itu, pengamanan kampung harus diperkuat, sehingga bila terjadi apa-apa bisa segera diatasi, termasuk dalam menghadapi klitih. (Hudono)