Oleh: Sudjito Atmoredjo*
Pada ranah etika kehidupan, ada ungkapan “mantan preman itu lebih baik dibanding mantan ustadz”. Ungkapan itu hadir sebagai nasihat sekaligus dorongan moral, agar para penjahat di negeri ini tak berputus-asa dengan masa lalunya yang tergolong “hitam-kelam”. Dengan keinsyafan, perbaharuilah rona kehidupan dengan niat menjadi orang baik. Dengan niat dan perilaku demikian, kehidupan bersama di negeri ini dapat dibenahi, diubah, dibangun, dari “gelap” menjadi “terang”.
Semua orang (tak terkecuali penulis), punya masa lalu. Sejak lahir, didoakan orang-tua dan banyak orang, agar kelak menjadi orang baik. Baik agamanya, baik ucapan, tutur-kata, dan perbuatannya. Berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kita sadar bahwa tak semua doa/harapan itu mulus terkabulkan. Karena berbagai faktor, seperti: lingkungan, pertemanan, atau keterbatasan/kemiskinan, suatu ketika pernah “jalan bengkok” dilaluinya. Di kala masih kecil (kanak-kanak) nyolong/maling tebu, mangga, atau buah-buah milik tetangga, dianggap biasa. Itu bukan kejahatan, melainkan sekedar kenakalan. Pemiliknya pun memaafkan, memaklumi, dan membiarkan. Bersyukurlah mereka yang telah sadar dan kapok untuk tidak melanjutkan kenakalan menjadi kejahatannya.
Baca Juga: Aceh Darurat Bencana Hidrometeorologi, 22 Meninggal dan 20.759 Orang Mengungsi
Tetapi perbuatan semacam itu, kini rentan dipolisikan. Perbuatan yang dulunya tergolong iseng itu, kemudian dikategorikan sebagai kejahatan/kriminal. Artinya, bila tertangkap, pelakunya pasti diproses hukum. Padanya, dikenakan sanksi hukum. Bisa didenda, dipenjara, atau sanksi sosial.
Sebuah kisah sedih, berlanjut menjadi gembira, dialami seseorang terurai di bawah ini. Kiranya pantas dijadikan kaca-benggala bagi siapapun yang ingin menjadi orang baik, hingga akhir hayatnya (husnul khatimah).
Dalam suatu kesempatan santai, orang dimaksud berkenan bercerita tentang perjalanan hidupnya. Dari sisi sosial-ekonomi, kehidupannya tergolong miskin. Untuk sehari-hari, kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan), jauh dari tercukupi. Pendidikan formal, jauh dari jangkauan. Hal demikian dirasakan sebagai kelumrahan, sebagaimana dialami orang-orang lain di lingkungannya.
Suatu kewajaran ketika dia dan teman-temannya sering terlibat kejahatan. Dimulai dari judi (ceki atau gaple). Berlanjut gemar minum keras, dan lain-lain. Untuk memenuhi kegemarannya, uang milik ibu/bapaknya sering dicuri. Seterusnya, barang milik orang lain (ayam, sepeda, motor, dll.) pun dijadikan mangsanya. Sejak itu, sebutan sebagai penyakit masyarakat melekat padanya.
Baca Juga: Pemerintah Setujui Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren di Bawah Kemenag
Berurusan dengan polisi dan aparat penegak hukum, tak terhindarkan. Awalnya keluarga masih peduli. Entah dengan cara damai macam apa, penahanan atas dirinya dapat ditebus. Hal demikian itu, berimbas pada kerentanan kembali berbuat jahat serupa pada kesempatan lain. Singkat cerita, penjara pernah dan sering menjadi rumah tinggalnya.
Diceritakannya, ketika di penjara, awalnya disiksa oleh residivis senior. Dinasihatkan agar kejahatannya tidak diulang. Menjadi orang baik atau menjadi penjahat itu pilihan. Apapun pilihannya, harus dijalani dengan serius. Tidak boleh tanggung-tanggung. Kalau mau menjadi orang baik, bersegeralah bertobat. Tetapi kalau memang sudah diniati menjadi penjahat, juga harus dijalani dengan tenanan (serius).
Dihadapkan pada nasihat penjahat senior itu, dia bimbang. Bagaimana mungkin menjadi orang baik, sementara dirinya tak berpendidikan, keluarganya miskin, lingkungannya kumuh, teman-temannya semua jahat. Dalam kebimbangan itu, penjahat senior membimbingnya, mengajarnya, dan memberi bekal, agar setelah keluar penjara mampu menjadi penjahat hebat.
Benar, begitu keluar dari penjara, dia dijemput seseorang. Diantarkanah dia ke suatu tempat, untuk disekolahkan sebagai penjahat. Selama dalam pendidikan, berbagai kebutuhannya dipenuhi. Berbagai ilmu hitam, ilmu kekebalan, diberikan. Dia dapat memastikan, apakah di dalam koper, ada uang, perhiasan, ataukan sekedar pakaian.