KASUS kekerasan seksual mengguncang UGM, melibatkan seorang guru besar Fakultas Farmasi, berinisial EM. Sedikitnya 13 mahasiswi telah menjadi korban kekerasan seksual EM.
Modusnya berselubung bimbingan akademik, pendampingan lomba maupun bimbingan forum ilmiah. Peristiwa itu sebenarnya sudah diproses sekitar akhir 2024 lalu, namun baru belakangan ini ramai di media massa maupun media sosial.
Bahkan, terkait kasus itu, EM telah dipecat sebagai dosen UGM melalui keputusan rektor. Secara internal, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM juga telah selesai menjalankan tugasnya dan merekomendasikan kepada rektor terkait pelanggaran etik. Sementara, proses kepegawaiannya sebagai PNS masih menunggu keputusan Kemendiktisaintek.
Meski proses etik dan administratif telah dijalankan, tak menutup diterapkannya proses hukum pidana. Bahkan, secara pidana, kalau benar terjadi kasus kekerasan seksual, kasus tersebut tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah, karena bukan masuk delik aduan. Namun, untuk memproses secara pidana tentu dibutuhkan alat bukti yang cukup.
Tanpa bermaksud memojokkan perempuan, kasus ini harus dianalisis secara tepat, tidak bisa dan harus objektif. Misalnya, apakah hubungan antara pelaku dan korban benar-benar atas dasar paksaan, bukan suka rela ? Apakah karena relasi kuasa, sehingga korban tak kuasa melawan, seperti halnya dalam kasus mantan Ketua KPU yang dicopot karena terbukti melakukan pelecehan terhadap stafnya.
Mengungkap kasus kekerasan seksual memang tidak mudah, apalagi bila ada peran dari korbannya. Kasus semacam itu tentu bukan masuk kategori perkosaan sebagaimana diatur Pasal 285 KUHP yang ancaman pidananya 12 tahun penjara.
Baca Juga: Masyarakat Ekonomi Syariah DIY Selenggarakan Syawalan Hadirkan Prof Mahfud MD
Sebab, dalam kasus perkosaan harus terpenuhi unsur kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh. Benarkah telah terjadi persetubuhan paksa ? Inilah yang harus diungkap, sehingga putusannya benar-benar mencerminkan keadilan.
Dosen, termasuk guru besar, adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan. Kasusnya menjadi heboh karena itu terjadi pada dosen senior dan berstatus guru besar.
Keadilan memang harus ditegakkan, tapi harus pula mempertimbangkan aspek lainnya, seperti seperti aspek sosial. Harus dipikirkan pula dampak dari pemberitaan tersebut, apakah fakta yang terungkap seratus persen benar, atau ada yang tertinggal, sehingga tidak utuh ? Kiranya kita perlu bijak menilai kasus ini, agar tidak menjadi bola liar. (Hudono)
| BalasTeruskan Tambahkan reaksiheboh |