AKSI perempuan ini tergolong nekat. Hanya gara-gara tak diberi nomor HP temannya, ia nekat membacok juru parkir di kawasan Tamansiswa Yogya. Perempuan berinisial SA (26) warga Pringgokusuman Gedongtengen Yogya ini membacok juru parkir yang juga temannya, DN, warga Yogya.
Awalnya SA menanyakan No HP salah seorang teman perempuannya bernama Norma kepada DN, namun dijawab tidak tahu. SA tidak percaya dengan jawaban DN, sehingga langsung mengambil golok dan membacok SA hingga mengalami luka di beberapa bagian tubuh dan harus mendapat 14 jahitan. Perstiwa tersebut terjadi pada Sabtu pekan lalu sekitar pukul 00.30 di Jalan Tamansiswa. Usai membacok DN, SA langsung kabur.
Korban yang mengalami luka masih bisa berjalan dan melapor ke polisi. Petugas bergerak cepat dan berhasil menangkap pelaku setelah meminta keterangan sejumlah saksi. Ternyata SA merupakan residivis dan pernah melakukan hal yang sama, penganiayaan. Mungkin SA termasuk orang yang gampang emosi dan ringan tangan.
Apakah hanya karena masalah tanya no HP tidak dijawab, lantas SA ngamuk membabi buta ? Polisi masih perlu melacaknya. Sebab, boleh jadi, persoalannya tidak sesederhana itu. Mungkin saja SA jengkel ketika tidak diberi No HP temannya oleh DN, namun mengapa juga sampai membacok hingga berdarah-darah ?
Kasus di atas sekilas merupakan penganiayaan biasa, sehingga pelaku bakal dijerat dengan Pasal 351 KUHP. Namun polisi masih perlu mendalami apakah ada perencanaan dalam penganiayaan tersebut. Ini penting karena penganiayaan yang direncanakan berbeda ancaman hukumannya dengan yang tidak direncanakan.
Kalau perlu polisi mendatangkan ahli, khususnya ahli jiwa (psikolog), untuk mengetahui motif SA membacok DN. Lebih dari itu, bila kasusnya dibawa ke pengadilan, hakim bisa memperberat hukuman lantaran DN merupakan residivis atau pernah melakukan penganiayaan dan dihukum.
Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran bagi siapapun untuk tidak gampang ringan tangan, apalagi main bacok, baik terhadap teman sendiri maupun orang lain. Soal ada tidaknya alasan pemaaf, kiranya itu ranah majelis hakim.
Bisa saja hakim mempertimbangkan faktor yang meringankan hukuman, namun semua itu sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Perempuan pun bisa berbuat nekat, sayangnya seperti dilakukan SA harus berakhir di penjara. (Hudono)