HARIAN MERAPI - Ibadah puasa sesungguhnya juga untuk membuang nafsu ke-Aku-an manusia.
Dalam kondisi kehidupan yang penuh ujian dan ketidakpastian saat ini, masih banyak
orang yang merasa bangga dengan apa yang dimilikinya. Bangga akan kecerdasannya, kepandaiannya, kecantikannya, ketampanannya, kekuatan badannya, kemerduan suaranya, harta benda yang dimilikinya, jabatan yang diraihnya dan berbagai kesuksesan lain.
Manusia senang dipuji, dihargai dan dihormati sebagai bentuk dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Sehubungan dengan hal ini, Allah sejak dini telah mengingatkan dengan firman-Nya:
Baca Juga: Mari bernostalgia dengan lagu-lagu ikonik film Disney
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman, 31:18).
Kecenderungan atau keinginan untuk menonjolkan ke-aku-an adalah bagian dari
karakter negatif manusia yang tidak bisa dibuang atau dihilangkan, tetapi hanya bisa dikelola atau diatur sehingga memunculkan sifat positif seperti; rendah hati, arif, bijaksana, berhati mulia, dan berbagai akhlak mulia yang lain.
Dan dalam konteks pengelolaan atau pengaturan diri ini, Puasa Ramadhan 1445 H sekarang ini adalah momentum yang paling efektif untuk membakar nafsu ke-aku-an manusia.
Proses membuang ke-aku-an ini dapat dianalogikan dengan pembakaran sebatang besi yang akan diproses menjadi pisau, alat rumah tangga, atau alat musik tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sifat besi yang dingin, ketika dibakar menjadi panas. Besi yang panas ini ketika ditempelkan pada selembar kertas, maka kertas itu akan ikut terbakar, atau minimal
menjadi gosong.
Hal ini sama artinya dengan orang yang sedang puasa Ramadhan, sebenarnya
dia telah melakukan proses membuang sifat-sifat yang merusak (negatif), termasuk sifat sombong (takabur), ria, iri, dengki dan sebagainya.
Inilah bagian hikmah diturunkannya perintah puasa; untuk membakar/membuang
sifat-sifat negatif diri manusia menjadi sifat positif yang mampu menambah nilai harga diri seseorang.
Sama halnya dengan prosesi pembakaran besi menjadi pisau, besi yang bersifat
tumpul, tetapi setelah dibakar dapat menjadi tajam, namun materi dasarnya tetap besi.
Baca Juga: Reformasi Hukum, Hardjuno Wiwoho Wacanakan Perampasan Aset Koruptor Tanpa Melalui Tuntutan Pidana
Inilah gambaran yang paling sederhana fungsi strategis puasa Ramadhan dalam pembentukan sifat-sifat positif manusia.