PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang mendiskon hukuman Ferdy Sambo dari pidana mati menjadi penjara seumur hidup menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ayah Brigadir Josua merasa bak disambar petir di siang bolong atas putusan tersebut.
Bagaimana mungkin Ferdy yang semula divonis hukuman mati karena terbukkti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua, diubah menjadi penjara seumur hidup.
Dalam perspektif hukum pidana, para pakar berdebat keras soal ini. Pasalnya, MA menolak kasasi yang diajukan Ferdy Sambo yang meminta agar dirinya dibebaskan, bahkan terlepas dari pidana mati. Mestinya, kalau kasasi ditolak, maka yang berlaku adalah hukuman yang sebelumnya dijatuhkan pengadilan tinggi, yakni pidana mati.
Baca Juga: Presiden Jokowi Kukuhkan 76 Pelajar Jadi Anggota Paskibraka 2023, Dua di Antaranya dari DIY
Namun ternyata tidak demikian, karena MA malah memperbaiki atau mengubah putusan dari pidana mati menjadi penjara seumur hidup. Putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim yang terdiri atas lima orang hakim agung.
Putusannya tidak bulat, tiga hakim menyatakan hukuman Sambo diubah menjai penjara seumur hidup, sedang dua hakim lainnya berpendapat Sambo tetap dihukum mati. Karena posisinya 3:2, maka yang digunakan adalah suara mayoritas, yakni Sambo dihukum penjara seumur hidup.
Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa hukuman Sambo bakal terus dikurangi niscaya patut dipikirkan. Bagaimana bila Sambo mengajukan PK dan dikabulkan ? Maka hukumannya akan terus berkurang. Namun demikian, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan hal itu tidak akan terjadi. Hukuman Sambo tidak akan berubah menjadi angka bilangan. Seumur hidup itu bukan bilangan, sehingga akan tetap seperti itu.
Baca Juga: Mulai Dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Imunisasi Rotavirus Diberikan Secara Gratis
Dalam KUHP yang baru, hukuman mati pun dapat dikoreksi, yakni bila terpidana berkelakuan baik, sehingga hukuman mati dibatalkan. Ini artinya, perubahan hukuman mati menjadi penjara seumur hidup digantungkan pada lembaga pemasyarakatan, bukan lembaga yudikatif.
Pandangan ini mungkin dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip penegakan HAM, yakni hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Itulah mengapa sampai saat ini Komnas HAM menentang penjatuhan hukuman mati karena dianggap melanggar HAM. Sedangkan dalam KUHP yang baru, hukuman mati tetap dicantumkan, namun dapat berubah seiring dengan perbaikan perilaku terpidana.
Pelaku pembunuhan kejam, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan HAM. Kalau kemudian pelakunya dihukum mati, mengapa dianggap melanggar HAM ? Inilah yang hingga kini masih menjadi perdebatan ahli hukum di Indonesia. (Hudono)