DRAMA politik tergelar di depan mata kita. Orang awam seolah tak paham apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini, mana persoalan hukum dan mana masalah politik. Orang yang semula divonis bersalah, tiba-tiba dihapus kesalahannya lewat mekanisme politik.
Itulah yang terjadi pada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Keduanya oleh Pengadilan Tipikor Jakarta telah divonis bersalah karena terbukti terlibat korupsi.
Namun, dua kasus tersebut tidak sama persis. Kasus Tom Lembong masih mudah dipahami kalau masyarakat mempertanyakan independensi hakim. Pasalnya, hakim mengakui bahwa tidak ada mens rea atau niat jahat dalam kasus Tom Lembong.
Bahkan, Tom Lembong sama sekali tidak diuntungkan dalam kasus impor gula yang menjeratnya. Apalagi, ia hanya menjalankan perintah Presiden Jokowi saat itu. Kebijakan impor gula dinilai telah menguntungkan pihak lain, namun tetap saja Tom Lembong divonis bersalah.
Sedang dalam kasus Hasto, di pengadilan tidak terbukti ia merintangi penyidikan kasus Harun Masiku. Sebelumnya jaksa mendakwa Hasto telah memeritahkan Harun Masiku merendam HP untuk menghilangkan jejak, tapi hal itu tidak terbukti di pengadilan.
Hasto terbukti menyediakan dana Rp 400 juta untuk menyuap anggota KPU Wahyu Setiawan demi meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI pergantian antarwaktu (PAW).
Atas vonis keduanya, masyarakat gaduh hingga kemudian Presiden Prabowo turun tangan dan memberikan abolisi atau penghapusan hukuman kepada Tom Lembong, sedang Hasto diberi amnesti yang hakikatnya adalah pembebasan dari akibat hukum.
Intinya, keduanya bebas alias tidak dihukum. Kok bisa ? Tentu saja bisa, karena Presiden sedang menggunakan hak prerogatifnya, sebagaimana dijamin konstitusi, yakni memberikan abolisi dan amnesti setelah meminta pertimbangan DPR. DPR pun gercep langsung menyetujui langkah presiden memberi abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Inilah politik ! Abolisi dan amnesti bukanlah mekanisme hukum, terserah Presiden mau menggunakan hak prerogatifnya atau tidak.
Jadi, dalam konteks itu, tak perlu ditanyakan apakah langkah Presiden sudah benar atau belum. Pun tak perlu ada istilah Presiden sedang mengintervensi hukum, karena memang abolisi dan amnesti bukan langkah hukum.
Ini bukan soal benar salah, ini soal kepentingan politik yang memang diakomodasi dalam konstitusi. Rakyat awam pun makin bingung, apa yang sedang terjadi di Tanah Air tercinta ini. (Hudono)
|
-
| BalasTeruskan Tambahkan reaksi |