HARI-HARI belakangan ini perhatian masyarakat, terutama kalangan praktisi hukum, sedang tertuju pada vonis mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Tom Lembong 4,5 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi importasi gula pada periode 2015-2016.
Uniknya, dalam persidangan terungkap Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi, melainkan justru orang lain yang mendapat keuntungan. Selain itu, terungkap tidak ada mens rea atau niat jahat dari Tom Lembong.
Namun mengapa hakim memvonisnya bersalah ? Berdasar pengertian korupsi sebagaimana diatur UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur korupsi terdiri: perbuatan yang menguntungkan diri sendiri dan atau orang/pihak lain, serta ada kerugian negara.
Baca Juga: Keberadaan Harun Masiku belum terlacak, KPK pastikan paspor sudah dicabut, ini penjelasan Jubir KPK
Menurut hakim yang menyidangkan perkara Tom Lembong, negara dirugikan Rp 194 miliar akibat perbuatan terdakwa. Pertanyaannya kemudian, dari mana ketemunya angka tersebut, padahal tidak ada audit dari BPK. Sebelumnya sudah ada putusan MK bahwa penentuan kerugian negara ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini BPK. Sementara dalam kasus Tom Lembong kerugian negara ditetapkan oleh tim kejaksaan, bukan BPK.
Meski demikian, kita tetap menghargai putusan pengadilan. Bahwa kemudian ada koreksi, sudah ada mekanismenya, yakni melalui banding. Sejauh ini Tom Lembong telah mempertimbangkan untuk mengajukan banding, karena putusannya dinilai tidak adil dan bernuansa politis ? Seperti kita tahu, Tom Lembong dikenal sebagai tokoh oposisi yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Di negara demokrasi seperti Indonesia, berbeda pendapat dengan pemerintah tentu sah-sah saja, selagi tidak ada unsur paksaan. Mengkritik pemerintah tentu tak sama dengan merongrong kekuasaan. Pemerintah butuh masukan dari masyarakat demi perbaikan jalannya pemerintahan. Sepanjang kritik disampaikan secara santun, konstruktif dan tidak anarkis, sah-sah saja.
Baca Juga: Nadiem Makarim akan diperiksa KPK 7 Agustus terkait kasus ini
Kembali pada kasus Tom Lembong, alangkah baiknya bila masukan maupun koreksi terhadap putusan pengadilan disampaikan lewat mekanisme banding. Dalam sidang banding, majelis hakim akan memeriksa perkaranya, bukan prosedur beracaranya.
Tidak heran bila kemudian, putusan pengadilan tingkat pertama berbeda dengan banding. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bertolak belakang. Sebab, dalam sidang tingkat banding, perkara akan diperiksa dari awal.
Namun belakangan, Presiden Prabowo memberi abolisi kepada Tom Lembong yang dengan demikian menghentikan proses hukum terhadap yang bersangkutan. Bersamaan itu, Hasto Kritiyanto yang telah divonis 3,5 tahun karena terbukti menyuap juga mendapat amnesti dari Presiden Prabowo.
Baca Juga: Titiek Soeharto sebut pertanian lebih menjanjikan dari kerja kantoran, ini alasannya
Tapi Tom Lembong tetap melawan. Ia melaporkan hakim yang memvonis dirinya bersalah ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tom Lembong tetap tidak terima dirinya dinyatakan bersalah. (Hudono)