"Hukum itu kan pedoman, yang melanggar akan dihukum. Berbeda dengan ideologi atau pemikiran yang bisa saja setiap orang berbeda, meskipun masih dalam satu wilayah hukum, tidak mau menerima atau menghormati pendapat orang lain bisa disebut intoleran," katanya.
"Namun ketika ideologi telah dijadikan hukum, semua orang dalam satu wilayah harus patuh, termasuk terhadap pendatang atau tamu, justru yang tidak menghormati hukum suatu negara itulah yang intoleran," lanjutnya.
Gus Hilmy mencontohkan kasus WNA yang dihukum karena terlibat dalam pengedaran ganja. Di negara asal WNA tersebut, ganja memang sudah dilegalkan, namun ketika masuk ke Indonesia maka ia berhadapan dengan hukum Indonesia.
Terkait kesiapan penyelenggaraan Piala Dunia, Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini juga menilai tidak terdapat masalah.
Semua kebutuhan dan fasilitas telah disiapkan dengan baik.
Baca Juga: Dampak MGM ditutup, sektor pariwisata Sleman berpotensi kehilangan Rp 550 juta
"Kita semua sudah melihat, kita tidak meragukan kesiapan Qatar dalam penyelenggaraan sepakbola internasional itu. Berbagai fasilitas telah disiapkan untuk menjamu dan memfasilitasi peserta turnamen maupun suporternya," ujar Gus Hilmy.
"Tetapi kalau maksudnya adalah kembali ke kampanye LGBT saya kira itu bagian dari sikap kolonialisme. Merasa superior dan lebih berperadaban dengan melegalkan LGBT, sementara yang menolak dianggap tidak beradab, persis sikap penjajah," lanjut Gus Hilmy. *