“Kabeh menungso iku ra isok ditebak yo Ndok, jahat gak jahat, menungso duwe dalapatur, sing gak isok rumongso mok gerabak sak enake (Semua manusia itu tidak bisa ditebak ya Nak, jahat tidak jahat, manusia punya tujuan sendiri yang bisa kamu jangkau seenaknya saja),”
Suara Mbah Krasa, tetap saja lembut, meski menyiratkan sebuah ketegasan, bahkan seperti mengancam.
“Sak iki, awakmu jek melok aku opo igak? (Sekarang, kamu masih mau ikut nenek atau tidak?),” tanya Mbah Krasa, ia menunggu jawaban.
Sri, yang sudah muak dengan segala hal tentang barang klenik itu, ia sudah punya jawaban.
“Mboten, kulo pamit mantok mawon Mbah (Tidak, saya pamit pulang saja Nek),”
Baca Juga: Sewu Dino Bagian 47: Rasa Sakit yang Menyiksa Itu Membuka Semua, Nyawa Dibayar Nyawa
Mbah Krasa hanya diam, ia tersenyum, nenek itu, tampaknya paham benar apa alasan Sri, tidak mau lagi ikut bekerja dengannya.
Lalu, Mbah Krasa memanggil Sugik, diperintahkannya membopong Sri, memasukkannya ke dalam mobil, dalam kondisi badan Sri, masih lemah.
Dalam gendongan Sugik, Sri masih sempat melirik Mbah Tamin, wajah orang pintar kepercayaan Mbah Krasa itu, tampak tenang, ia tersenyum.
Mbah Tamin melihat Sri, pasti, batin Sri, senyum itu, Mbah Tamin tahu apa yang terjadi.***