Pak Prabu ingin antara sungai dan Sinden dihubungkan sehingga ada semacam jalan air.
Sepanjang perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan, yang paling mencolok adalah ia banyak melihat sesajen yang diletakkan di atas tampah, lengkap dengan bunga, makanan, dan juga kemenyan.
Setiap kali mau bertanya, selalu ia urungkan niat itu karena hati kecilnya mengatakan bahwa bertanya bukan hal yang bagus.
Setelah dari Sinden, Nur pamit ke posko karena merasa badannya kurang enak, akhirnya observasi hanya dilakukan 4 orang.
Kemudian, sampailah mereka pada titik yang paling menakutkan, Tapak Talas.
Pak Prabu menjelaskan jika Tapak Talas adalah batas di mana rombongan anak-anak dilarang keras untuk melintas.
Tapak Talas berupa jalan setapak yang dibuat serampangan, di kiri dan kanan terdapat kain merah lengkap diikat oleh janur kuning layaknya pernikahan.
“Kenapa tidak boleh Pak?” tanya Ayu.
Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban tapi ia enggan mengatakannya.
“Iku ngunu Alas D******, gak ono opo-opone, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana? (Itu adalah hutan belantara, tidak ada apa-apanya, takutnya kalau kalia ke sana, lalu hilang dan tersesat, bagaimana?),” jawab Pak Prabu.
Sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya.
Baca Juga: Urai Kemacetan Arus balik, Menaker Sarankan Pekarja Lakukan Sistem WFH
Perasaan merinding dalam diri Widya saat melihat jalan setapak itu. *