Wakil Rektor I ISI Yogyakarta, Dr. Dewanto Sukistono, dalam sambutannya menyampaikan bahwa ISI Yogyakarta sangat mengapresiasi Harmoni Nusantara yang diluncurkan hari ini. Kegiatan ini sejalan dengan salah satu tujuan kampus ISI Yogyakarta, yaitu untuk mendorong hilirisasi karya seni.
“Karya seni, khususnya musik, yang tidak hanya bermanfaat bagi musisi tapi juga masyarakat luas. Melalui platform digital, karya seni dapat memberikan dampak yang lebih luas ke pasar global, sekaligus memperkuat identitas budaya kita,” terang Dr. Dewanto.
Acara peluncuran di Yogyakarta ini juga menghadirkan diskusi bersama musisi Pongki Barata, perwakilan Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas Anis Ilahi Wahdati, CEO Playup Pascal Lasmana, CEO Nuon Aris Sudewo, serta VP Digital Music Nuon Adib Hidayat.
Diskusi ini menyoroti implementasi UU Hak Cipta, sistem royalti yang adil, hingga peran teknologi dalam menghadirkan transparansi data.
Isu mengenai UU Hak Cipta dan royalti sering menjadi perhatian. Namun sebenarnya, kafe, restoran, hotel, dan tempat komersial lainnya justru bisa meraih banyak manfaat dengan memutar musik secara legal.
Selain menghadirkan suasana lebih hidup bagi pelanggan, langkah ini sekaligus menjadi bentuk apresiasi kepada musisi serta mendukung pertumbuhan industri musik nasional.
Menjawab permasalahan tersebut, Playup by Langit Musik hadir sebagai solusi inovatif yang memungkinkan pemilik usaha memutar musik secara legal, berlisensi, dan terkurasi. Layanan ini menambahkan ketenangan bagi bisnis sekaligus memberi dukungan nyata kepada musisi Indonesia.
Praktisi musik, Pongki Barata menilai perlindungan hak cipta bagi musisi di Indonesia belum cukup detail. Ia menekankan pentingnya tata kelola royalti yang transparan, adil, dan berkelanjutan agar profesi musisi bisa lebih dihargai.
Menurutnya, implementasi Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia memang sudah ada kemajuan, tetapi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
“Jawaban singkat saya: sudah lumayan, tapi belum cukup membanggakan,” tegas Pongki.
Ia menilai, persoalan utama terletak pada sifat UU Hak Cipta yang terlalu umum. Regulasi tersebut mengatur berbagai karya cipta mulai dari musik, film, seni rupa, hingga tulisan, sehingga perlindungan khusus bagi musisi masih kurang mendetail.
“Kalau kita bicara ideal, seharusnya ada Undang-Undang Musik tersendiri. Dengan begitu, profesi musisi bisa lebih dihargai dan lebih diakui secara spesifik,” sambungnya.
Pongki pun mendorong adanya sistem tata kelola musik yang rapi dan berkelanjutan.
“Idealnya, sistem ini berjalan otomatis: royalti bisa ditransfer rutin, misalnya tiap minggu atau tiap bulan, dengan basis data yang jelas, sehingga pendapatan musisi bisa terukur dan terus bertumbuh. Itulah yang kita harapkan dari perkembangan tata kelola musik di Indonesia,” pungkasnya. *