HARIAN MERAPI - Di stand Pameran Jawa Is Me Fest Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM dalam acara Gugur Gunung 13, dipamerkan busana keseharian putera puteri raja.
Menurut Jifani, mahasiswi sastra Jawa yang memandu pameran, “Dalam tradisi berbusana di lingkungan para bangsawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada busana yang digunakan sebagai pakaian keseharian (padintenan -Red) para putera puteri Sultan.”
“Busana untuk putera dan puteri itu berbeda. Busana padintenan untuk putera raja terdiri dari kain batik, lonthong, kamus, timang, baju pranakan, blangkon dan keris.
Sedangkan busana untuk puteri raja terdiri dari : kain batik, semekan, kebaya dan sanggul. Selain digunakan sebagai busana keseharian, busana ini juga seringkali digunakan untuk menghadiri upacara alit yang memerlukan kesederhanaan,” ungkapnya.
Jifani menjelaskan, “Yang didisplay ini adalah baju peranakan. Biasanya surjan itu kan ada 2 motifnya, lurik atau kembang-kembang. Ini baju peranakan karena surjan itu biasanya kan ada kancingnya. Ini gak pake kancing. Pake resleting.''
''Selain surjan, ada juga jarik, wiru, kacu abrit, blangkon. Untuk pakaian wanitanya namanya brokat. Di dalamnya kemben, di luarnya jarik, kacu abrit. Salah satu unsur yang menandai strata sosial kebangsawanan adalah penggunaan kacu abrit (sapu tangan) yang terkadang disertai aksesoris berupa dompyong.”
''Dompyong adalah senjata rahasia berbentuk kain yang dulunya merupakan lambang identitas bangsawan yang menjadi pelengkap busana adat dan biasanya dipakai oleh permaisuri.''
Baca Juga: Gugur Gunung 13 FIB UGM, buku metode 'cara ngapak' mempermudah orang belajar aksara Jawa
''Namun, dibalik bentuknya yang indah terdapat bagian yang dapat didorong keluar dan berbentuk tajam yang mematikan. Senjata ini hanya untuk perempuan. Untuk laki-laki menggunakan keris,” katanya.
Menurut pantauan Koran Merapi, ternyata Kacu Dompyong yang merupakan koleksi Keraton Jogja ini juga pernah ditampilkan di pameran "Kuasa Wanita Jawa" di Taman Budaya Embung Giwangan beberapa waktu lalu.
Selanjutnya adalah stand “Daur Hidup”. Menurut Novia, pemandu stand “Daur Hidup”, “Stand ini menampilkan simbolisasi dari daur hidup manusia Jawa, yaitu 3M, alias Manak Manten Mati atau Kelahiran Pernikahan dan Kematian.
Uniknya, stand itu menampilkan beberapa piranti adat yang digunakan saat anak baru lahir.
“Begitu bayi lahir, biasanya ari - ari plasentanya akan dikubur. Nah, ari-ari dan plasentanya ini akan dikubur bersama dengan beberapa benda ini. Ada pensil dan buku kecil, ada sisir dan kaca kecil. Ada jarum dan benang. Ini semua merupakan perwujudan doa.''
Baca Juga: 6 Rekomendasi wisata swafoto latar belakang Gunung Merapi dengan view terbaik
''Kertas dan Pensil biar anaknya pinter. Sisir dan Cermin / kaca biar anaknya ganteng atau cantik. Benang dan jarum biar anaknya trampil. Dan kain mori untuk membungkus ari - arinya,” jelasnya.