HARIAN MERAPI – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, lalu.
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setelah diterbitkan atau ditandatangi Jokowi, Perppu Cipta Kerja tersebut memunculkan kontroversi di masyarakat.
Pemerhati perempuan dari Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Ane Permatasari SIP MA pun menilai, bahwa Perppu Cipta Kerja memiliki kekuatan hukum yang lemah bagi pekerja wanita.
Baca Juga: Pangandaran diguncang gempa magnitudo 4,1 Minggu dini hari, ini pusatnya
“Perppu Cipta Kerja tidak memasukkan pasal dimana hak-hak pekerja wanita meliputi cuti haid dan melahirkan. Sebagai gantinya, hak-hak tersebut diatur dengan penjelasan bahwa jaminan hak-hak tersebut dapat dimuat dalam perjanjian kerja. Hal seperti ini bisa merugikan pekerja wanita,” ungkap Ane, akhir pekan lalu.
Ditegaskan pula oleh Ane, banyak yang dapat dikritisi dari Perppu Cipta Kerja tersebut. Antara lain, tidak diaturnya ketentuan pengangkatan pegawai tetap dalam jangka waktu tertentu, pengurangan hari libur, pemberian pesangon kepada pekerja yang di PHK dan lainnya.
"Yang menjadi perhatian sejak lama memang kepentingan dari pekerja yang dapat dijamin dengan adanya peraturan yang mengikat. Bukan hanya mementingkan kepentingan investor yang akan menanam benih di Indonesia," paparnya.
Baca Juga: Pangandaran diguncang gempa magnitudo 4,1 Minggu dini hari, ini pusatnya
Begitu pula dengan peraturan mengenai hak-hak pekerja wanita yang juga harus diatur secara eksplisit dalam peraturan. Misalnya, hak seperti cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita harus diatur secara eksplisit.
“Harapan ini dapat kita serahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kita berharap MK dapat menimbang kembali kepentingan masyarakat khususnya para pekerja Indonesia,” tandas Ane.
Pemerhati perempuan yang juga dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini menambahkan, Perppu Cipta Kerja pada Pasal 79 ayat (5) menjelaskan, Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Menurut Ane, hal tersebut membuat jarak antara pengusaha dan pekerja. Artinya pula, penyerahan keputusan hak pekerja wanita kepada pengusaha atau perusahaan bisa membuat jarak.
“Dimana, terdapat kemungkinan pengusaha tidak akan memasukkan hak-hak tersebut. Dan hal ini ke depannya tidak dapat dipermasalahkan secara hukum,” urai Ane.
Masih menurutnya, hak pekerja wanita untuk mengajukan cuti apabila merasa sakit ketika haid atau mengambil cuti ketika akan melahirkan sejak awal diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.