HARIAN MERAPI- Pencantuman hukuman mati dalam KUHP yang baru masih menimbulkan polemik di kalangan pemerhati HAM.
Ada yang menilai penerapan hukuman mati dalam KUHP baru justru merupakan langkah yang progresif.
Setidaknya penilaian tersebut disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Baca Juga: Awas macan loreng di Gunungkidul, jangan pergi sendirian
"Ketika pidana mati dijatuhkan, mekanisme selalu ditunda 10 tahun untuk melihat perubahan perilaku dari terpidana," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam webinar bertajuk Penyiksaan dalam Praktik Pidana Mati di Indonesia: Satu Terlalu Banyak di Jakarta, Jumat.
Dalam KUHP baru, disebutkan bahwa apabila terpidana mati berperilaku baik, menjalankan semua program dan dinilai bisa berubah, otomatis pidana mati diubah menjadi pidana lainnya.
"Ini merupakan mekanisme yang baik. Bagi kami, abolitionist tentu saja langkah awal untuk kemudian menghapus pidana mati di Indonesia," kata Erasmus.
Baca Juga: Dewan Kehormatan PWI berhentikan Iptu Umbaran Wibowo dari keanggotaan PWI, ini respons Mabes Polri
Di satu sisi, Erasmus memahami pandangan dari kelompok abolitionist terutama ICJR akan mendapatkan kritikan dari pihak-pihak yang tidak sependapat. Namun, sebagai negara yang mengedepankan demokrasi, hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah terjadi.
Dalam paparannya, Erasmus menyebutkan satu hal yang perlu mendapat perhatian ialah soal penyiksaan terhadap terpidana saat aparat penegak hukum mencari bukti/pemeriksaan yang terjadi di tempat penahanan.
Dalam konteks hukuman mati, proses standar penjatuhan pidana mati harus di posisi tertinggi sebab dalam menjatuhkannya tidak boleh ada sedikit pun keraguan aparat penegak hukum, terutama hakim.
Baca Juga: Bila anak mengalami kesurupan, ini yang harus dilakukan
"Dalam hukuman mati, standar harus selalu ada dalam konteks tertinggi dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun, terutama hakim," katanya menegaskan.