WEBINAR DI TENGAH PANDEMI DAN RUU OMNIBUS LAW- Perlu Titik Temu dalam Sertifikasi Produk Halal

photo author
- Minggu, 28 Juni 2020 | 20:43 WIB

 

 

 

 

 

YOGYA (MERAPI) - Kaprodi S3 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Ali Sodiqin menilai mencuatnya RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang salah satu bagiannya mereview UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) menimbulkan pro kontra di antara para pihak baik Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ormas Islam diluar MUI. Sementara masyarakat membutuhkan kepastian hukum dalam memperoleh perlindungan atau jaminan atas kehalalan suatu produk yang dikonsumsi.


"Saat ini diperlukan kesiapan BPJPH dan pemerintah melaksanakan regulasi itu, dimana salah satu aspek penting adalah adanya kewajiban semua produk untuk bersertifikasi halal termasuk bagi UMKM. Pemerintah perlu memikirkan bantuan bagi UMKM untuk memperoleh sertifikasi halal," ujar Ali Sodiqin, doktor ahli hukum Islam ini saat menjadi keynote speaker dalam Webinar yang bertema “Sertifikasi Halal di Tengah Pandemi dan RUU Omnibus Law” yang diselenggarakan TNC & Friends, Prodi S3 FSH UIN Suka dan BPJPH Kementerian Agama RI, Jumat (26/6) sore.


Dalam Webinar tersebut selain Dr Ali Sodiqin, juga menghadirkan CEO TNC & Friends Thalis Noor Cahyadi, Sekretaris BPJPH Kementerian Agama Drs Lutfi Hamid dan Ketua Komisi Fatwa MUI DIY Prof Dr KH Mahrus dengan moderator Ketua APSI DIY Agus Suprianto.
Dalam pemaparannya, Thalis Noor Cahyadi mengungkapkan beberapa poin krusial yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja yang berlawanan dengan UU JPH antara lain penghapusan 5 kata dalam pasal 1 (10) UU JPH, di mana pengertian Sertifikat Halal menurut UU JPH adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Kalimat “...tertulis yang dikeluarkan oleh MUI” dihapus oleh RUU Omnibus Law sehingga berbunyi “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa”.


Perubahan definisi ini berakibat pada penerapan pasal-pasal berikutnya seperti pasal 7, 10, 32 dan pasal 33, dimana MUI tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam penerbitan fatwa halal produk. Karena pasal-pasal tersebut memungkinkan bagi ormas-ormas Islam berbadan hukum selain MUI untuk menerbitkan fatwa halal dan dapat diakui oleh BPJPH. “Dalam konteks ini pasti terjadi tarik menarik kepentingan antara MUI dan Ormas Islam, dan harus dicari titik temu demi kepastian hukum,” ujar jelas Thalis.


Sementara Sekretaris BPJPH, Drs Lutfi Hamid mengungkapkan, peranan BPJPH dalam UU JPH telah jelas, dimana salah satu perannya adalah Penerbitan Sertifikat Halal didasarkan pada fatwa halal dari MUI. Adapun jika nantinya diamandemen oleh RUU Cipta Kerja, dirinya tentu tidak berwenang untuk menolak, karena sudah menjadi ranah legislator. Namun demikian menurut mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY ini, BPJPH diakui belum maksimal menyiapkan perangkat-perangkat sebagaimana mestinya.


Berdasarkan Keputuan Menteri Agama No 982 Tahuna 2009, Menteri Agama mengembalikan kewenangannya kepada MUI dan LPPOM MUI, peran BPJPH hanya sebatas pengajuan permohonan dan penerbitan sertifikat halal. Dalam konteks UMKM, pemerintah melalui BPJPH akan memberikan kemudahan bagai pelaku UMKM yang memiliki omset dibawah Rp 1 miliar akan diberikan sertifikasi halal secara gratis, sementara yang diatas itu, akan disesuaikan dengan ketentuan tarif resmi yang ditetapkan oleh menteri keuangan.


Sementara itu Prof Mahrus, Ketua Komisi Fatwa MUI DIY menyatakan MUI tidak bisa menolak adanya permintaan fatwa halal dari masyarakat karena MUI adalah khodimul ummah (pelayan umat), terlebih BPJPH belum bisa berperan maksimal. “Demi kepastian hukum, MUI dan LPPOM MUI tetap akan memproses permohonan sertifikasi halal," tambah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini.
Mahrus menyatakan bahwa meski fatwa MUI adalah tidak mengikat secara hukum bagi semua orang dan hanya mengikat bagi yang mengakuinya. Tetapi jika fatwa MUI kemudian dijadikan rujukan atau bahkan ditetapkan dalam regulasi positif, maka ia mengikat bagi semuanya. Terkait dengan RUU Cipta Kerja, MUI mempersilakan semua pihak untuk mencermatinya, apakah nantinya tidak hanya MUI yang dapat menerbitkan fatwa halal dan ormas Islam lainnya. (C-5)



Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Rekomendasi

Terkini

PPDI Merah Putih Ingin Berpatisipasi MBG dan KDMP

Minggu, 21 Desember 2025 | 18:00 WIB
X