Penetapan itu berlangsung pada hari kelima Paro Peteng, Vurukung, Senin Pahing Wuku Margasira, bulan Asuji 823 Saka, bersamaan dengan Siva atau 5 Oktober 901 Masehi.
Penetapan itu menandai Desa Kayu Ara Hiwang sebagai Tanah Perdikan yang bebas dari kewajiban membayar pajak. Tapi, wajib memelihara tempat suci yang disebut Parahyangan, atau Para Hyang, berada.
Dalam upacara besar penetapan tanah perdikan itu dilakukan ritual penyucian segala sesuatu yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang.
Ritual penyucian itu meliputi sawah, padang rumput, para petugas katika, guha, tanah garapan, atau katagan, dan sawah tadah hujan atau gogo.
Kata 'guha' yang disebut dalam prasasti itu diduga tak lain adalah Gua Seplawan.
Sebab, di dekat mulut Gua Seplawan pernah ditemukan reruntuhan batuan candi yang diduga sebagai bekas bangunan suci.
Selain itu ditemukan pula Lingga-Yoni, arca emas Dewa Siwa dan Dewi Parwati, serta berbagai perangkat upacara keagamaan zaman Hindu Kuno.
Dengan berbagai penemuan itu, para ahli meyakini Gua Seplawan merupakan 'guha' yang dimaksud sebagai Parahyangan dalam Prasasti Kayu Ara Hiwang.*