nusantara

Perkawinan anak di Lombok Tengah dikecam Menteri Arifah, ini kasusnya

Jumat, 30 Mei 2025 | 10:00 WIB
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi. (ANTARA/HO-KemenPPPA.)



HARIAN MERAPI - Fenomena perkawinan anak ternyata masih terjadi di Indonesia.


Kali ini terjadi di Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).


Kejadian ini dikecam Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi.

Baca Juga: Kisah Ahmad Jupri Lambungkan Peternakan BBS dari Modal Rp20 Juta hingga Punya Aset Rp80 Miliar

"Pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas merupakan bentuk perkawinan usia anak, karena anak laki-laki berusia 17 tahun dan perempuan masih 15 tahun. Menikahkan anak berarti melanggar hak dasar anak, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan, dan tumbuh kembang yang layak," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Kamis.

Ia menegaskan bahwa pernikahan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya.

Arifah Fauzi mengatakan, batas usia minimal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Ramalan zodiak Aries besok Sabtu 31 Mei 2025 soal cinta dan karir, luapan emosi hanya akan memperumit situasi

Ia mengingatkan bahwa menikahkan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat berujung pada sanksi pidana maupun administratif.

"Pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk dengan mencegah terjadinya perkawinan anak. Bahkan Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual -TPKS- dalam Pasal 4 secara tegas menyebutkan bahwa pemaksaan perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan seksual," kata Menteri Arifatul Choiri Fauzi.

Lebih lanjut, Menteri PPPA menegaskan, perkawinan usia anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, melainkan persoalan sosial dan pembangunan nasional.

Menurut dia, praktik ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah, meningkatnya prevalensi stunting, serta rendahnya rata-rata lama sekolah, terutama di daerah dengan praktik perkawinan anak yang tinggi.

Baca Juga: DPRD Sleman ke Studio TV One, Gustan Ganda: Media Masa Menjadi Tolok Ukur Berita Kebenaran

"Mengurangi praktik perkawinan anak berarti melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Usia adalah indikator penting kesiapan untuk menikah, dan negara wajib memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka menjadi generasi sehat dan cerdas," kata Arifah Fauzi.*



 

Tags

Terkini