Di satu sisi buruh memerlukan pekerjaan dan mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain buruh juga tidak ingin memberatkan pengusaha yang pada akhirnya akan membuat usaha bangkrut dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bagi pengusaha, dijelaskan Sumarno juga memiliki kewajiban yang dilaksanakan dengan membayar upah buruh sesuai aturan dan kemampuan.
Di sisi lain, apabila dipaksakan upah naik tinggi maka memberatkan dan berdampak pada keuangan perusahaan yang pada akhirnya bisa memaksa terjadinya pengurangan pekerja atau PHK.
"Mayoritas usaha di Kabupaten Sukoharjo ini padat karya. Satu industri saja bisa punya pekerja ribuan bahkan puluhan ribu orang. Apabila terjadi masalah di perusahan maka ribuan orang pekerja ini juga terkena dampaknya," lanjutnya.
Baca Juga: Gasak Sepeda Motor, Warga Temanggung Pelaku Pencurian Sepeda Motor Ditangkap Polisi
Ketua Forum Peduli Buruh (FPB) sekaligus Ketua Serikat Pekerja Republik Indonesia (SPRI) Sukoharjo, Sukarno, mengatakan, terkait dengan usulan UMK tahun 2025 buruh di Sukoharjo mengapresiasi angka kenaikan upah yang sudah ditetapkan pemerintah pusat sebesar 6,5 persen.
Angka tersebut berlaku secara nasional disemua daerah di Indonesia termasuk di Kabupaten Sukoharjo.
Buruh melihat angka 6,5 persen meski belum sesuai dengan hasil survei KHL di Kabupaten Sukoharjo sebesar 5-8 persen, namun tetap diapresiasi.
Sebab angka 6,5 persen sudah berada ditengah dan antara 5-8 persen. Artinya tidak terlalu merugikan buruh dan perusahaan.
Buruh ditegaskan Sukarno sudah bisa menerima angka kenaikan upah tahun 2025 sebesar 6,5 persen. Hal serupa diharapkan juga dapat diterima pihak perusahan dengan mematuhi kenaikan UMK.
"Buruh di Sukoharjo sejak awal sudah meminta ketetapan upah harus menggunakan survei KHL. Hasil survei kami diangka 5-8 persen.
Sedangkan ketetapan pemerintah terkait angka kenaikan upah tahun 2025 sebesar 6,5 persen. Meski belum sesuai hasil KHL buruh, tapi ketetapan 6,5 persen pemerintah pusat sudah bisa diterima buruh," ujarnya.
Sukarno menjelaskan, regulasi sebelumnya yang digunakan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Regulasi dalam kedua Peraturan Pemerintah tersebut sebelumnya ditolak buruh karena dinilai merugikan. Buruh meminta penerapan mengacu pada survei KHL karena dianggap riil dengan kebutuhan hidup buruh.