MAHKAMAH Konstitusi (MK) sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat menyusul putusan uji materi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Awalnya publik lega ketika MK menolak gugatan uji materi yang diajukan PSI dan Partai Garuda serta sejumlah kepala daerah terkait batas usia minimal capres cawapres. MK berpendapat batas usia minimal capres cawapres 40 tahun tidak melanggar UUD 1945.
Anehnya, pada gugatan berikutnya yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta, MK justru mengabulkan untuk sebagian. Putusannya kurang lebih, batas usia menjadi capres cawapres tetap minimal 40 tahun atau telah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah.
Baca Juga: Hoaks terkait Pemilu 2024 meningkat tajam, Satgas Antihoaks makin intensif bekerja
Ini artinya, meski belum berusian 40 tahun, namun pernah menduduki jabatan kepala daerah, misalnya, diperbolehkan mencalonkan menjadi capres cawapres. Sampai di sini, anggota majelis hakim MK Saldi Isra bingung setengah mati. Bagaimana mungkin MK bisa mengubah keputusan sedemikian cepat, hanya hitungan hari.
Empat hakim mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda), sedang 5 hakim lainnya tetap pada putusan menambah norma, yakni ‘atau telah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah’.
Lima dibanding empat, maka lima yang menang. Maka putusan MK tentang usia minimal capres cawapres telah final dan mengikat dan berlaku untuk Pemilu 2024. Dunia penegakan hukum di Indonesia langsung gaduh atas putusan tersebut. Bagaimana mungkin MK menambah norma, yang notabene bukan kewenangannya, melainkan kewenangan legislatif.
Baca Juga: Indonesia kirim bantuan seberat 30 ton untuk warga Palestina di Gaza
MK seharusnya memutus apakah UU Pemilu, khususnya Pasal 169 huruf q tentang batas usia minimal capres cawapres bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Ya, hanya itu saja. Bukan malah menambah norma baru dengan membuka alternatif telah/sedang menjabat kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Sulit untuk menepis muatan politik dalam putusan tersebut. Apalagi, sebelumnya santer beredar Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Presiden Jokowi digadang-gadang menjadi bakal cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Sayangnya, terbentur persyaratan usia yang masih 36 tahun, padahal syarat dalam UU Pemilu minimal 40 tahun.
Nah, dengan adanya putusan alternatif ‘atau telah/sedang menempati jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah’, maka Gibran lolos bisa mendaftar menjadi cawapres. Sulit pula untuk mengelak bahwa uji materi tersebut sesungguhnya hanya untuk kepentingan tertentu. Bukankah hanya segelintir kepala daerah yang usianya di bawah 40 tahun yang hendak mencalokan sebagai capres-cawapres.
Baca Juga: Gunung Merapi luncurkan lava sebanyak 13 kali pada Kamis pagi
Kini putusan MK dipersoalkan dan diperiksa majelis etik, yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), karena ada dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim MK, kita tunggu hasilnya. Keputusan itu sekaligus juga akan mencerminkan kekuatan penguasa atau penegak hukum, tinggal adu kuat saja. (Hudono)