Kendati demikian, pemerintah berpendapat, praktik umrah mandiri sebenarnya telah berlangsung sebelum undang-undang ini disahkan.
Bedanya, kini ada payung hukum yang jelas untuk memastikan keamanan, ketertiban administrasi, dan perlindungan jamaah.
Termuat dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b, menegaskan perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara mandiri.
Sementara itu, Pasal 87A mengatur persyaratan calon jemaah seperti memiliki paspor berlaku minimal enam bulan, tiket pulang pergi, surat sehat, visa, dan bukti pembelian paket layanan yang terdaftar melalui Sistem Informasi Kementerian.
Baca Juga: Kejuaraan Semi Open Turnamen Bola Voli Bupati Cup Red Legion 2025 bergulir di Karanganyar
Jeratan Bui-Denda untuk Umrah Mandiri Ilegal
Terkait dengan hukum, terdapat sanksi berat bagi individu atau perusahaan yang mencoba memanfaatkan celah umrah mandiri tanpa izin resmi.
Berdasarkan Pasal 122 UU Haji dan Umrah, Dahnil menyebut pihak yang bertindak sebagai penyelenggara tanpa izin atau memberangkatkan jamaah tanpa hak dapat dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar.
“Setiap orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran jemaah juga dapat dipidana hingga 8 tahun penjara,” imbuhnya.
Dahnil bahkan menegaskan, skema umrah mandiri bersifat personal dan tidak boleh digunakan untuk menghimpun jamaah secara kolektif.
“Umrah mandiri dilakukan oleh individu yang mendaftar dan tercatat langsung dalam sistem Kementerian. Ini bukan celah untuk bertindak sebagai penyelenggara tanpa izin,” ujarnya.
Benang Merah Pro-Kontra Umrah Mandiri
Baca Juga: DKI Jakarta Juara Umum PON Bela Diri 2025, Kudus Kembali Dipercaya Menjadi Tuan Rumah di 2027
Kendati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, kebijakan umrah mandiri menunjukkan arah baru pemerintah dalam mengimbangi dinamika kebijakan global.