Lantas, bagaimana gelombang kritikan yang muncul imbas maraknya kasus keracunan massal yang dialami para siswa dalam program MBG tersebut? Berikut ini ulasan selengkapnya.
Investigasi dan Krisis Kepercayaan
Pembentukan tim investigasi memang langkah krusial. Di sisi lain, publik menilai hal ini belum cukup menjawab krisis kepercayaan.
Bagaimana tidak, 842 orang di Bandung Barat menjadi korban setelah menyantap makanan MBG. Jumlah itu tercatat dari tiga peristiwa keracunan di Cipongkor dan Cihampelas hanya dalam 3 hari ke belakang.
Baca Juga: Penjarah, Penghasut, Perusak Pagar Besi Polres Salatiga Jateng Saat Demo Ditangkap
Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N Sukandar sempat menyebut, kasus pertama terjadi pada Senin, 22 September 2025 dengan jumlah korban mencapai 393 orang.
Dua hari berselang, angka itu bertambah 449 korban baru. Fakta ini menegaskan adanya celah serius dalam manajemen penyediaan makanan bergizi.
Kritik Pedas Soal Menu
Selain soal keamanan pangan, sederet menu makanan yang dipilih dalam program MBG juga kini menuai kritik.
Baca Juga: BRI Perkuat Dukungan bagi Sektor Pertanian Melalui Akses Pembiayaan dan Pemberdayaan Inklusif
Ahli gizi, dr. Tan Shot Yen pernah menyoroti pemberian burger hingga spageti dalam program MBG sebagai bentuk pengingkaran terhadap pangan lokal.
“Alokasikan menu lokal 80 persen isi MBG di seluruh wilayah, saya ingin anak Papua bisa makan ikan kuah asam, saya pengin anak Sulawesi bisa makan kapurung,” tegas Tan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI, pada Senin, 22 September 2025.
Tan menilai, memperkenalkan burger pada anak-anak Indonesia justru melestarikan ketergantungan pada gandum impor.
Baca Juga: Wamenpar Cek Kesiapan Geopark Maros-Pangkep Jelang Revalidasi Status Global Geopark oleh UNESCO
Di sisi lain, ia juga menyindir penyedia makanan yang terkesan asal dalam memilih bahan.