Pelajaran untuk RUU Perampasan Aset, Presiden dan DPR Diminta Cermati Gugatan Soal Perpu PUPN di MK

photo author
- Selasa, 17 Juni 2025 | 12:50 WIB
Pengamat hukum sekaligus pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho (Foto: Dok. Istimewa)
Pengamat hukum sekaligus pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho (Foto: Dok. Istimewa)

Kedua, dalam catatan transaksi keuangan, dana yang seharusnya masuk ke rekening resmi Bank Centris Internasional justru diduga dialihkan ke rekening lain yang bernama Centris International Bank—rekening atas nama perorangan yang tidak terdaftar untuk kliring di Bank Indonesia.

Ahli yang dihadirkan Pemohon menyebut praktik ini berpotensi sebagai rekayasa transaksi, dan menyamainya dengan tindakan manipulatif yang mengarah pada pelanggaran serius dalam sistem keuangan negara.

Baca Juga: Temuan Fosil Gajah Purba di Situs Patiayam Kudus Dibuat Replika untuk Objek Wisata

Ketiga, Andri tidak pernah menandatangani jaminan pribadi atau dokumen yang mengakui utang secara personal, seperti PKPS, MSAA, MRNIA, atau APU.

Menurut ahli hukum korporasi, tanggung jawab pribadi semacam itu tidak bisa dibebankan kepada pemegang saham pengendali, kecuali ada pembuktian pelanggaran hukum yang berat.

Doktrin piercing the corporate veil yang memungkinkan pengabaian batas entitas hukum perusahaan baru diperkenalkan di Indonesia lewat UU Perseroan Terbatas tahun 1995, jauh setelah UU PUPN dibuat.

Baca Juga: Prajurit TNI AL pembunuh jurnalis divonis seumur hidup dan dipecat dari dinas militer

Keempat, Bank Centris sebenarnya telah menyerahkan jaminan sah berupa promes nasabah senilai Rp492 miliar dan aset tanah seluas 452 hektare kepada Bank Indonesia. Namun, alih-alih mengeksekusi jaminan tersebut, PUPN justru langsung menyita dan melelang harta pribadi Andri dan keluarganya. Hal ini sebuah langkah yang dianggap melanggar prosedur eksekusi jaminan yang sah (parate eksekusi).

Secara keseluruhan, gugatan ini mempertanyakan apakah pemerintah telah bertindak dalam koridor konstitusi saat menagih utang dari warga negaranya, atau justru melanggar hak dasar lewat mekanisme hukum yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Hardjuno mengatakan gugatan ini menjadi semakin penting karena saat ini pemerintah dan DPR tengah membahas RUU Perampasan Aset. Jika kesalahan dalam kasus Andri dibiarkan, maka RUU tersebut berpotensi melahirkan kekuasaan sepihak yang bisa menyita aset tanpa kontrol yudisial yang memadai.

“Inilah alasan mengapa gugatan ini tidak hanya menyangkut satu orang, tapi menyangkut masa depan keadilan hukum di Indonesia,” ujarnya. *

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X