Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan, Hardjuno Wiwoho: Langkah Revolusioner Pemberantasan Korupsi

photo author
- Kamis, 12 Desember 2024 | 19:00 WIB
Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho (Foto: Dok. Istimewa)
Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho (Foto: Dok. Istimewa)

HARIAN MERAPI – Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi perhatian serius.
Salah satu wacana penting adalah penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Langkah ini dinilai mampu memperkuat upaya pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, terutama dalam kondisi di mana pelaku tidak dapat dijerat melalui jalur pidana konvensional.

Namun demikian menurut Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, untuk menerapkan penerapan NCB di Indonesia, memerlukan beberapa perbaikan, baik dari sisi regulasi maupun budaya hukum. Hardjuno menilai, Indonesia membutuhkan regulasi yang secara khusus mengatur mekanisme NCB agar dapat berjalan efektif.

Baca Juga: DPR Harus Tunjukkan Political Will, Hardjuno: Undang Ahli dan Masyarakat Rumuskan RUU Perampasan Aset

Saat ini, lanjutnya, sebagian besar perampasan aset diatur dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, mekanisme ini mensyaratkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum aset dapat dirampas.

“Dalam banyak kasus, kondisi seperti meninggalnya pelaku atau kurangnya alat bukti sering kali menghambat proses hukum pidana. Di sinilah NCB menjadi relevan, karena memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa harus menunggu pelaku dinyatakan bersalah,” jelas Hardjuno.

Menurutnya, regulasi NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana.

Baca Juga: KPK terbitkan DPO lagi. Inilah foto-foto terbaru buronan Harun Masiku

“Jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB,” tambahnya.

Tantangan Implementasi

Meski potensial, Hardjuno menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan NCB.
Salah satunya adalah resistensi politik dan birokrasi.

“Banyak kasus korupsi melibatkan aktor-aktor dari sektor politik dan birokrasi, yang bisa saja menghambat pelaksanaan instrumen ini. Dibutuhkan keberanian politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah,” tegasnya.

Ia juga menekankan perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. “Perampasan aset tanpa pemidanaan harus dilakukan secara transparan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Proses ini tidak boleh melanggar prinsip keadilan, terutama terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana,” ujarnya.

Baca Juga: KPK Sita Uang Tunai Rp6,8 Miliar dalam OTT Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa

Hardjuno juga menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengimplementasikan NCB. “Sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor,” ucapnya.

Ia mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah berhasil menggunakan NCB untuk memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri. “Kita bisa belajar dari mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NCB bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memerangi korupsi,” tambahnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X