HARIAN MERAPI - Wacana menggunakan dana zakat untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusulkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mendapat kritikan tajam. Usulan ini semakin menambah daftar kegaduhan yang dibuat DPD, sekaligus bukti ketidakpahaman Ketua DPD RI dalam tata kelola keuangan negara.
“Ini bukan soal kreatif atau tidaknya ide, tetapi soal keberpihakan terhadap prinsip tata kelola keuangan negara yang transparan dan bertanggung jawab. Dana zakat memiliki aturan penggunaannya sendiri yang diatur dalam syariat Islam, dan mengalihkannya untuk program seperti MBG justru berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat,” ujar Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (20/1).
Baca Juga: Istana hingga MUI Menentang Makan Bergizi Gratis Dibiayai Zakat, Sebut Sudah Ada Ketentuan Penerima
Sebelumnya, Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mendorong keterlibatan masyarakat dalam biaya pelaksanaan program MBG. Salah satu contohnya lewat pendanaan yang bersumber dari zakat yang terkumpul di lembaga zakat.
Namun Hardjuno menilai usulan menggunakan dana zakat ini asal bunyi (asbun). Karena itu, harus ditentang. Pasalnya, semangatnya tidak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Menurut Hardjuno, wacana penggunaan dana zakat ini semakin memperlihatkan pimpinan DPD tidak peka terhadap situasi dan kondisi bernegara dan pemrintahan baru yang sedang menata banyak hal sesuai track. Karena itu, Hardjuno berharap usulan terkait dana zakat ini tidak berlanjut.
Baca Juga: DPD Dinilai Tak Punya Sense of Crisis, Pengamat Kritik Keras Penambahan Jumlah Reses
“Zakat itu kan fungsinya untuk kemaslahatan umat, di mana sudah diatur kualifikasi penerimanya, ya fungsikan saja untuk itu. Cukup diawasi pelaksanaannya. Jangan dipakai untuk hal-hal di luar ketentuan yang sudah diatur dan baku,” imbuhnya.
Hardjuno mengingatkan DPD RI agar lebih fokus pada kebijakan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas.
“Kita tidak bisa terus membebani publik dengan ide-ide yang tidak matang dan tidak mematuhi prinsip tata kelola keuangan. DPD RI seharusnya memperbaiki kebijakan anggarannya terlebih dahulu sebelum mengusulkan hal-hal seperti ini,” terangnya.
Baca Juga: Sejumlah siswa tidak tertarik konsumsi sayur dalam MBG
Lebih lanjut Hardjuno menilai DPD RI justru abai terhadap pengelolaan anggaran. Hal itu terlihat dari keputusan untuk menambah jumlah reses di rentang bulan Oktober hingga Desember 2024, dimana seharusnya satu kali, sama dengan reses di DPR, menjadi dua kali.
“Sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana DPD menambah jumlah reses mereka melebihi jumlah reses DPR RI. Ini jelas membebani APBN miliaran rupiah. Sekarang mereka mengusulkan kebijakan yang justru membuat masalah baru dengan menggunakan dana zakat untuk MBG,” tegas Hardjuno.
Hardjuno menegaskan bahwa langkah DPD menambah reses adalah contoh konkret perilaku yang tidak mematuhi prinsip pengelolaan keuangan negara. Ia menyebut, perilaku ini, sudah jelas melanggar UU MD3, di mana reses DPD RI harus mengikuti jadwal reses DPR RI.
Selain UU MD3, juga berpotensi melanggar UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Menurutnya, terhadap potensi pelanggaran UU tersebut, sudah sepatutnya aparat penegak hukum turun melakukan penyelidikan.