HARIAN MERAPI - Sebanyak 78 pegawai Rutan KPK yang terbukti melakukan pungutan liar (pungli) meminta maaf secara berjamaah.
Namun pakar menilai permintaan maaf tersebut tak mencerminkan pertobatan, melainkan hanya teatrikal saja.
Apalagi, pelaku tak memperlihatkan muka dan membuka identitas.
Baca Juga: Inilah tiga kiat melawan cuaca panas saat berpuasa di bulan Ramadhan
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai permintaan maaf 78 pegawai KPK terkait dengan pungutan liar (pungli) terkesan teatrikal.
"Ini terkesan teatrikal ketimbang pertobatan substansial," kata Reza dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Apalagi, lanjut dia, mereka tanpa memperlihatkan muka dan membuka identitas pelaku. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing orang tergerak meminta maaf lebih karena perasaan malu, bukan perasaan bersalah.
Baca Juga: Tips mencegah kanker, ikuti saran dokter spesialis gizi, awas obesitas bisa jadi faktor penyebab
Reza menyangsikan praktik pungli oleh 78 pegawai KPK di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK bukanlah yang kali pertama.
"Patut diduga kuat, lebih dari satu kali," ujarnya.
Menurut dia, 78 pegawai KPK yang melakukan pungli tersebut masuk kategori sebagai residivis.
Residivisme mereka, kata Reza, tidak dihitung berdasarkan re-entry (berulang masuk lapas) atau re-punishment (hukuman ulang), tetapi berdasarkan perhitungan bahwa para staf KPK telah mengulang-ulang perbuatan pungli mereka.
Baca Juga: Meriahkan HPKN di Jakarta, 62 musisi orkestra dari Keraton Yogyakarta siap tampil, ini persiapannya
"Betapa pun baru satu kali ini aksi mereka terungkap, lalu diproses etik," katanya.
Dengan status residivis ini, menurut Reza, sanksi etik dengan meminta maaf tidaklah cukup untuk menebus kesalahan mereka, terlebih permintaan maaf tersebut bukan berdasarkan inisiatif pribadi, melainkan ada dugaan lembaga yang memaksa mereka.
"Jadi, berapa kali permintaan maaf yang bisa dianggap setara dengan residivisme mereka?" ujar Reza.
Reza mengatakan bahwa hukuman meminta maaf oleh staf KPK tersebut sedemikian rupa terlalu enteng bagi lembaga yang semestinya menempatkan standar etik dan standar moral pada posisi tertinggi dan mutlak.
Baca Juga: Dituntut Hukuman Mati, Pembunuh Pasutri Pengusaha Kolam Renang di Tulungagung Divonis 14 Tahun
Selain itu, Reza juga penasaran apa hasil yang akan didapat oleh 78 pegawai tersebut bila dikenai tes wawasan kebangsaan (TWK).
Dengan adanya peristiwa tersebut, menurut dia, tidak perlu ada lagi TWK bagi pegawai KPK. Hal ini mengingat perbuatan mereka sudah menyimpang dari nilai-nilai integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, dan kepemimpinan.
"Itu saja sudah menunjukkan betapa wawasan kebangsaan mereka sedemikian bobrok," kata Reza.
Baca Juga: Bawaslu tuding KPU tak lakukan PSU, PSS dan PSL sesuai rekomendasi
Tidak hanya itu, setelah 78 pegawai KPK itu menjalankan sanksi minta maaf, mereka akan ditempatkan di mana? Ruang kerja yang mana yang layak diisi para pegawai tersebut?
"Apakah KPK bisa memastikan puluhan orang itu tidak akan mengulangi aksi pungli mereka?" kata Reza.*