Pendekatan ini membuat mereka mudah menyesuaikan diri dengan budaya kerja baru, terutama di sektor teknologi, komunikasi, dan industri kreatif. Survei LinkedIn Workplace Learning Report 2024 menunjukkan 76 persen profesional Gen Z aktif mengikuti pelatihan daring dan bootcamp untuk memperkuat kemampuan analitis dan kreatif mereka.
Baca Juga: Terlalu sering mandi ternyata bisa berdampak pada kesehatan kulit, begini penjelasan dokter
Selain itu, sejumlah faktor yang membuat Gen Z betah di tempat kerja antara lain perusahaan memiliki kepemimpinan yang mendukung (bukan mengontrol melainkan membimbing), adanya keluwesan waktu dan lokasi kerja (sistem hybrid atau remote menjadi nilai tambah), kultur inklusif dan kolaboratif (Gen Z lebih produktif dalam tim lintas generasi), serta pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi dan isu keberlanjutan (makna dan dampak sosial).
Sedangkan faktor yang membuat Gen Z mudah gelisah di tempat kerja adalah ketidakjelasan arah karier, kurangnya pengakuan, dan komunikasi satu arah dari manajemen. Mereka lebih menghargai organisasi yang memiliki budaya feedback loop cepat dan memberi ruang eksplorasi.
Identitas profesional
Di tengah arus digitalisasi yang kian cepat, Gen Z tidak hanya beradaptasi dengan teknologi, tetapi juga menjadikannya sarana membangun identitas profesional.
Kehadiran platform seperti LinkedIn, GitHub, Behance, hingga TikTok Professional dimanfaatkan untuk menampilkan portofolio, membangun jejaring, dan menunjukkan kompetensi secara terbuka. Dalam konteks ini, digital presence menjadi bagian penting dari reputasi karier.
Kesadaran terhadap kesehatan mental juga menjadi ciri kuat Gen Z di dunia kerja. Mereka lebih terbuka membicarakan stres, burnout, dan keseimbangan hidup.
Survei Mind Matters Asia 2025 menunjukkan lebih dari 70 persen karyawan Gen Z menganggap dukungan psikologis di tempat kerja sama pentingnya dengan kompensasi finansial. Karena itu, banyak perusahaan kini mulai menghadirkan program employee wellness, konseling daring, serta kebijakan cuti kesehatan mental sebagai bagian dari strategi retensi.
Baca Juga: Refleksi Ngaji Sabtu Sore di Nitiprayan: Ujian Nikmat dan Keberkahan
Kemajuan kecerdasan buatan (AI) turut mengubah cara Gen Z menatap masa depan pekerjaan. Mereka tidak melihat AI sebagai ancaman, tetapi sebagai alat kolaboratif untuk meningkatkan produktivitas.
Laporan World Economic Forum 2025 mencatat 68 persen pekerja Gen Z di Asia Tenggara telah menggunakan alat berbasis AI dalam pekerjaan sehari-hari, mulai dari riset, desain, hingga analisis data. Namun, hal itu juga mendorong mereka memperkuat keterampilan masa depan (future skills) seperti literasi digital, kemampuan berpikir sistemik, empati, dan komunikasi lintas disiplin.
Dalam konteks karier, Gen Z cenderung menolak jalur linear. Mereka lebih menyukai karier portofolio, yakni menggabungkan berbagai proyek dan pengalaman lintas bidang.
Model kerja fleksibel ini memberi mereka ruang untuk bereksperimen dan menyeimbangkan pekerjaan formal dengan aktivitas personal seperti konten kreatif, wirausaha sosial, atau pekerjaan berbasis proyek.