Lalu, bila dalam satu atau dua minggu tidak ada perbaikan di level puskesmas, maka dokter umum harus merujuk sampai ke level rumah sakit umum daerah (RSUD) agar anak ditangani dokter spesialis anak.
"Kalau sudah sampai di spesialis anak itu namanya sudah masuk pencegahan tersier. Ini dilakukan pada anak yang tidak bisa dilakukan penatalaksanaan dengan baik di puskesmas. Dokter yang akan menentukan pendeknya ini stunting atau bukan dengan melakukan pengukuran ulang" jelas dia.
Baca Juga: Kasus Penganiayaan Pelajar di Wirobrajan Yogyakarta Berakhir Damai, Ini Kronologinya
Stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Kendati prevalensinya turun dari 30,8 persen pada tahun 2018 menjadi 21,5 persen pada tahun 2023. Pemerintah Pusat kemudian menargetkan penurunan stunting 18 persen pada 2025.
Sementara itu, khusus di Jakarta, data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperlihatkan terdapat 36.664 balita menghadapi masalah gizi sepanjang Januari hingga Agustus 2024.
Dari data tersebut, sebanyak 26,74 persen atau 10.340 anak mengalami stunting, lalu 4,24 persen atau 1.638 anak mengalami gizi buruk, kemudian 26,32 persen atau 10.178 anak mengalami gizi kurang, dan sekitar 42,70 persen atau 16.508 anak mengalami berat badan kurang.
Walau begitu, dari 10.340 kasus stunting, sebanyak 5.969 anak sudah membaik dan 4.371 anak masih berjuang mengatasi kondisinya.
Baca Juga: Kebakaran di Tanjung Priok Tewaskan Empat Orang dalam Satu Kamar
Dalam mengurangi masalah stunting, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui program Jakarta Beraksi (Bergerak Atasi Stunting).*