Menurut perkiraan tokoh masyarakat dusun Tiban Bapak Partoinangun, sekitar tahun 1846 keberadaan Mbah Longko di tempat persembunyiannya itu sudah mulai diketahui beberapa orang tertentu. Sehingga mereka menyusul dan ingin mengabdi kepada Mbah Longko yang sakti ini dan menjadi muridnya.
KEDATANGAN sanak kadang ini bagi Mbah Longko bagaikan Ketiban rezeki. Inilah mula pertamanya tempat tersebut lalu dinamakan dusun Tiban asal kata dari ketiban. Kedatangan sanak kadang tadi ternyata mereka kepingin belajar ilmu apa saja yang dimiliki Mbah Longko baik ilmu kanuragan, ilmu pertanian, atau ilmu apapun yang bermanfaat dalam hidup dan kehidupan mereka sehari-harinya.
Pertama-tama yang datang menyusul ke tempat Mbah Longko adalah keluarga Mbah Jotaruno dan Mbah Pairorejo. Demi luasnya persebaran penduduk maka Mbah Longko memberikan ijin kepada Mbah Jotaruno untuk mengelola wilayah dari alas randu sampai ke alas ara-ara. Sedangkan Mbah Pairorejo dipersilakan menempati alas Jati yang masih banyak bertumbuhan pohon Jati. Mereka ini diwajibkan membuat tempat pemukiman sendiri dengan babad alas sebelum mendirikan rumah tinggalnya.
Tidak berselang waktu yang lama datang lagi Mbah Jono dan Mbah Wongsoijoyo. Mereka matur kepada Mbah Longko jika kepingin nyuwita kepada beliau. Oleh Mbah Longko Mbah jono disuruh mapan di alas trukan yaitu sebuah tempat dimana rerumputannya pun belum pernah dijamah orang. Dia disuruh mengelola tempat itu untuk kemudian di buat sebuah pemukiman. Sedangkan Mbah Wongsoijoyo dipersilakan mengelola alas Plalangan yang masih penuh tumbuhan ilalang. Mereka berdua juga harus babad alas lebih dahulu sebelum mendirikan tempat tinggal.
Untuk keperluan hidup sehari-hari mereka jelas sangat membutuhkan air. Maka Mbah Longko lalu mengajak rekan-rekan barunya itu untuk membuat beberapa sumbr air.
“Teman-teman, berhubung kita amat membutuhkan air padahal di sekitar sini sumber air yang ada cuma kecil maka marilah kita membuat belik! Setujuu?”.
“Setujuuuu, Eyang Longko”, jawab mereka serempak penuh semangat.
Dengan tekun mereka masing-masing berusaha mencari sumber air (tuk) dan kemudian menggalinya menjadi belik sebagai penampungnya. Mbah Pairorejo menggali tuk yang kemudian diberinya nama Belik Growong. Dinamakan begitu karena dalam proses penggalian berkali-kali mengalami kelongsoran.