“Begini, Diajeng. Waktu aku masih kanak-kanak dulu ibuku sedang menanak nasi di dapur. Karena kebelet kelaparan aku merengek-rengek minta makan. Ibuku sudah memegang enthong akan menyenduk nasi namun ternyata belum matang, masih jemek".
AKU tidak mau disabar-sabarkan karena perutku keburu keroncongan, aku berteriak-teriak minta makan sambil menangis. Ibuku jengkel, kesabarannya habis maka dipukullah kepalaku dengan enthong di tangannya, ‘Plok’
“Waduuuuh biyuuuung, kepalaku sakit sekali!”, teriakku sambil berlari keluar dari dapur. Entah mengapa kepala ini rasanya pening tujuh keliling membuatku terus berlari menjauhi rumah, berlari, berlari, berlari, dan terus berlari entah sampai dimana. Akhirnya aku memutuskan tidak akan pulang kembali ke rumah. Aku mengembara ke berbagai negeri, berguru ke berbagai Padepokan lalu menjadi prajurit dan bergaul dengan para sentana dalem. Berkat berbagai macam pengalaman dan ilmu-ilmu kanuragan yang aku dapatkan selama mengembara aku bisa menjadi penguasa di Kerajaan Gilingwesi ini,” kata Sang Prabu bercerita tentang masa lalunya.
Dewi Sinta tersentuh hatinya, haru. Disekanya air mata yang turun meleleh di pipinya. Ia jadi teringat, dulu dirinya pernah memukul anaknya dengan enthong. Anak itu menangis kesakitan dan berlari pergi dari rumah sampai kini tak pernah kembali lagi. Jangan-jangan Sang Prabu ini adalah anakku yang dulu pergi dan tak pernah kembali lagi itu?.
Duh, Gusti. Lelakon ini kok begini ruwetnya? Tolonglah hamba, berilah jalan terang dalam hidupku ini.
Dewi Sinta merenung-renung sendiri, judheg. Bagaimana mungkin dirinya bisa dinikahi seorang raja yang tak lain dan tak bukan adalah anak kandung sendiri? Ah, semuanya sudah terlanjur terjadi.
“Diajeng Sinta, kenapa kamu tadi mrebes mili lalu sekarang nampak tercenung-cenung?