Ki GEDE REDI MIJIL (3-HABIS) - Tidak Ada yang Berani Nanggap Wayang

photo author
- Minggu, 22 September 2019 | 06:26 WIB

-

DI DEKAT Gunung Mijil ada Gunung yang disebut sebagai Gunung Gedhe. Di puncak Gunung Gedhe ada dua buah nisan kuna. Konon nisan itu adalah makam Ki Panji Rapak dan istrinya. Mereka hidup berdua saja sampai akhir hayatnya lantaran tidak dikaruniai anak. Sedang di sebelah utaranya juga ada sebuah Gunung. Orang biasa menyebutnya Gunung Buthak.

Konon nisan-nisan yang ada di puncak gunung tersebut adalah keluarga dari Ki Ageng Bothak. Beliau mempunyai banyak anak, gemuk-gemuk, sehat-sehat, dan lincah-lincah sewaktu masih kanak-kanak, imut dan menyenangkan. Ki Panji Rapak sering sekali main ke rumah Ki Ageng Bothak sahabatnya terutama karena anak-anaknya yang kemriyek dan menggemaskan itu. Bahkan tidak jarang Sehari penuh Ki Panji Rapak momong anak-anaknya Ki Ageng Bothak sambil bermain-main di lereng gunung yang tidak begitu terjal.

Sehubungan dengan inilah maka Kijing di atas gunung Gedhe yang sepasang itu suatu saat tinggal sebuah. Ini berarti Ki Panji Rapak sedang bermain dengan anak-anak ki Ageng Bothak di rumahnya. Sesungguhnya Ki Panji Rapak orang yang cukup berilmu beliau hanya selapis tipis di bawah Ki Gede Redi Mijil. Sikapnya agak pendiam, bersahaja, dan rendah hati selalu menghormati orang lain.
Kesukaan beliau adalah kesenian wayang purwa dan suka mengidolakan tokoh-tokoh punakawan terutama Ki Semar Bodronoyo yang bijak, rendah hati, namun sakti. Bahkan di waktu senggangnya Ki Panji Rapak sering juga mendalang di rumahnya memainkan tokoh-tokoh Punakawan ini. Yang suka beliau tirukan adalah sembur tuturnya Ki Semar Bodronoyo kepada anak-anaknya Gareng, Petruk dan Bagong.
Suatu saat wayang-wayang tokoh Punakawan itu lenyap tidak tahu kemana? Ki Panji berkali-kali menanyakan pada istrinya di mana wayang itu. Tetapi istrinya juga tidak mengerti, “Atau barangkali mereka moksa, Kakang?”, kata istrinya.

Ki Panji Rapak sangat kecewa, berhari-hari dicarinya ke sudut-sudut rumah, ke kebun-ke bun belakang, menyibak-nyibak semak belukar dan lain-lain namun tetap tidak ketemu. “Bisa jadi wayang-wayangku itu moksa”, pikirnya. Hari berikutnya Ki Panji Rapak puasa tujuh hari tujuh malam di tambah puasa mutih tiga hari tiga malam. Pas hari terakhir beliau puasa mutih beliau didatangi Ki Semar Bodronoyo. Dia memohon maaf kepada Ki Panji Rapak jika kelakuannya pergi bersama anak-anaknya tanpa pamit itu tidak berkenan di hatinya. Selanjutnya Ki Semar unjuk atur, “Ki Panji Rapak, aku titipkan kepadamu roh Gareng dan Patruk.
Biarlah mereka tinggal di sekitar tempat ini. Beritahukan kepada semua warga Gunung Gede, gunung Mijil, dan sekitarnya agar mereka tidak usah nanggap wayang selama-lamanya. Sebab jika nanggap wayang nanti pada saat adegan gara-gara roh Gareng dan Petruk bisa marah dan bikin gara-gara beneran. Itulah yang aku khawatirkan. Ki Panji Rapak, sekali lagi aku mohon maaf dan selamat tinggal aku akan nganglang ke arah utara, ke Gunung Tidar”, pesan Ki Semar Bodronoyo.

Ki Panji Rapak tanpa pikir panjang menyanggupinya. Konon sampai sekarang warga sekitar Gunung Mijil tidak berani nanggap wayang. Salah seorang warga Samsuhadi (64 th) men- ceritakan dulu ketika dia masih SD pernah ada salah satu warga yang mencoba nanggap wayang. Maka pas adegan gara-gara dimana Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong hadir di pakeliran benar-benar kemudian terjadi gara-gara. Angin ribut tiba-tiba datang, pohon-pohon nampak bertumbangan, atap-atap diterbangkan angin ribut yang kian membadai. Ki Dalang saat itu mencoba menghentikannya dengan menghunus kerisnya dan diacungkan ke atas.Tetapi inipun tidak berhasil, Ki Dalang ambruk dan semaput.

Anehnya, keesokan harinya tempat nanggap wayang yang semalam berantakan itu kembali rapi, pohon-pohon yang bertumbangan sudah bangkit kembali seperti sedia kala. Dengan rasa heran wargapun berusaha membenahi sebagian genteng-genteng yang kurang rapi. Ada yang bilang semalam roh Gareng dan Petruk mengamuk mereka tidak terima wadagnya di pentaskan di Pakeliran dan jadi tontonan banyak orang. Yang lain bilang, semalam dia diweruhi ular naga yang panjang sekali badannya ngrungkel di puncak gunung sementara kepalanya menjulur ke atas tratak tempat pertunjukan wayang, lidahnya melet-melet. Sungguh menakutkan. Katanya, waktu itu memang ada aneka rupa penampakan binatang-binatang yang menyeramkan ada yang berwujud kalajengking raksasa, klabang raksasa, dan sebagainya.

"Dari berbagai cerita tadi komentar anda, Pak Ustad Hilal?" tanya penulis kepada salah satu sesepuh setempat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Cerita misteri saat pentas malam pelepasan mahasiswa KKN

Sabtu, 13 September 2025 | 22:00 WIB
X