Ki GEDE REDI MIJIL (1) - Membuka Hutan untuk Mendirikan Padepokan

photo author
- Minggu, 25 Agustus 2019 | 15:50 WIB
22jan19
22jan19


-

KETIKA Pasukan kerajaan Mataran nglurug ke Bang Wetan sekitar tahun 1576 untuk memperluas wilayahnya puluhan ribu prajurit diikutsertakan. Mereka dibagi dalam bregada-bregada yang dipimpin oleh seorang lurah prajurit. Secara pribadi masing-masing prajurit tentu punya motivasi sendiri-sendiri, ada yang semangatnya makantar-kantar pejah gesang ndherek Kanjeng Prabu Senopati Ing Ngalaga, ada pula yang merasa terpaksa ikut karena takut dengan pejabat kerajaan yang merekrutnya, dan ada pula satu dua orang prajurit tangguh dalam ilmu kanuragan tetapi tidak menyukai kekerasan apalagi peperangan.

Mereka berpikir, manusia tidak sama dengan binatang dimana setiap persoalan diselesaikan dengan adu fisik, perang, dan ditentukan dengan menang atau kalah. Gusti Yang Maha Agung memberikan akal kepada manusia agar bisa berpikir, membuat perhitungan, pertimbangan, dan upaya untuk berembuk jika terjadi konflik satu dengan yang lain guna mencari kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Jika manusia selalu berperang, menjajah, menaklukan pihak lain dengan kekerasan maka dia tak ubahnya seperti binatang di rimba raya.

Berawal dari pemikiran seperti itulah maka Ngabei Sutasoma seorang lurah prajurit bersama dua orang pengawalnya ingin meloloskan diri dari pasukan Mataram. Ketika itu puluhan ribu prajurit Mataram sedang dalam perjalanan akan menaklukkan Bang Wetan (Jawa Timur) sampai di daerah Sukowati mereka beristirahat. Saat itulah di tengah malam Ngabei Sutasoma bersama pengawalnya diam-diam meninggalkan pasukan dan berjalan masuk ke hutan. Berhari-hari lamanya mereka menempuh perjalanan ke arah barat. Akhirnya perjalanan mereka sampai di hutan sebelah barat Kraton Mataram. Ngabei Sutasoma mengajak kedua pengawalnya beristirahat di situ karena tempatnya cukup nyaman, rimbanya tidak begitu lebat, ada sebuah gumuk kecil, dan berdekatan dengan sumber air bersih yang melimpah.

"Gumuk ini aku namakan Gunung Mijil. Karena puncaknya nampak seperti muncul atau mijil dari rerimbunan semak belukar," kata Ngabei Sutasoma.

"Sumber air di bawah pohon Preh itu sebaiknya dinamakan Sumber Rejo, Ngabei!" usul salah satu pengawalnya.

"Aku setuju dengan pendapatmu. Sekarang aku akan madeg sebagai Ki Gede Redi Mijil, kau sebagai Panji Rapak. Sedangkan kamu sebagai Ki Ageng Buthak sesuai dengan kepalamu yang botak." Mendengar dhapukan yang diberikan Ngabei Sutasoma tersebut kedua pengawalnya tertawa-tawa girang.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Cerita misteri saat pentas malam pelepasan mahasiswa KKN

Sabtu, 13 September 2025 | 22:00 WIB
X