Adapun kondisi di puncak, kata Alex, dinginnya minta ampun.
“Berdiri di puncak tidak boleh diam, harus menggerakkan badan, kalau tidak dingin akan merayap dari kaki ke atas, dan kaki rasanya seperti kram,” ucap Alex.
Bahkan, untuk makan pun kesulitan karena mulut susah membuka dan mengatup.
“Kalau makan, mulut dibuka dengan bantuan tangan, makanan dimasukkan dan dikatupkan lagi oleh dua tangan, terus seperti itu,”
Susah memang, tapi dalam pikiran ketiganya, mereka harus makan, untuk menjaga badan tetap hangat.
Baca Juga: Misteri Suara Biola dari Rumah Kosong Peninggalan Orang Asing, ini Kata Warga yang Tahu Sejarahnya
Apalagi, sebelum berangkat, mereka diberitahu lurah Bambangan, jika ada mahasiswa UPL Unsoed bernama Hartoyo yang tewas terkena hipotermia di puncak.
“Hartoyo ini pendaki tunggal yang naik ke Slamet seminggu sebelum kami mendaki,” tuturnya.
Jadi adanya informasi itu, membuat Alex dan 2 sahabatnya berpikir, mereka harus secepatnya mengeksplorasi puncak, kemudian kembali ke Plawangan.
Tapi, ekspektasi mereka seketika berubah.
Ketika, kabut yang sangat tebal, tiba-tiba turun menyelimuti puncak Slamet.
“Seumur hidup, itu adalah kabut paling tebal yang pernah saya lihat,” ucapnya.
Alex mencoba menyalakan senter besar dengan batere 6 atau 8, tapi.
Tapi sinarnya seperti menabrak tembok berwarna putih.