“Dulu semua itu diawasi, ada namanya Kantor Sospol, jika tidak ada rekomendasi surat dari Sospol, biasanya tidak bisa mendaki, jadi kami kucing-kucingan,” kata Alex.
Jalan satu-satunya agar pendakian jadi legal adalah dengan bergabung dengan klub pecinta alam resmi milik kampus.
Alex mengaku tidak ikut klub pecinta alam resmi kampus karena latihannya yang dinilai tidak representatif.
“Masa latihannya naik pohon jati pakai tali, kapan sampai ke puncak gunung kalau seperti itu,” katanya, membayangkan apa yang ia pikirankan kala itu.
Jadi, mereka bertiga adalah pendaki liar.
Tantangannya mendaki gunung pada masa itu adalah minimnya sarana informasi tentang pendakian.
Berbeda dengan sekarang yang tinggal membuka ponsel, bisa mencari informasi apapun tentang gunung yang ingin didaki.
“Sekarang tinggal buka HP, sudah ada informasi jalur, Simaksi, basecamp, kalau dulu tidak ada,” ujarnya.
Untuk mendaki gunung kala itu, pendaki harus membeli peta provinsi.
“Dilihat petanya, gunungnya di mana, lalu cari kota yang paling dekat, baru kita ke sana mencari informasi tentang desa terdekat ke gunung,” tuturnya.
Pada zaman itu, pendakian juga belum seramai sekarang sehingga jalur menuju puncak pun masih sangat alami.
“Biasanya kita mengikuti jalur orang cari kayu atau rumput sampai habis, baru setelah itu kita buat trek ke puncak,” katanya.
“Istilahnya, mendaki gunung kala itu, mustahil tanpa peta,” tandasnya.***