harianmerapi.com - Ketika itu bulan Ramadan, sepulang salat terawih, bersama adik terakhir saya, kami pulang lebih dulu ke rumah. Ternyata saya mendapat pengalaman misteri.
Ibu, Bapak, dan adik saya satunya lagi, tertinggal di rombongan belakang. Setibanya di rumah, saya mengambil kunci dan berusaha membuka pintu.
“Kok, lama sih, Mas?”
“Sek to, agak seret ini kuncinya.”
Beberapa saat kemudian, pintu pun berhasil terbuka. Saya masuk lebih dulu, sementara adik saya menyusul.
Baca Juga: Misteri Api Menyala di Kala Senja 2: Mobil Perampok Nyungsep di Lokasi Pesta Miras
Pintu sengaja tak saya kunci lagi, mengingat orang tua dan adik saya yang satunya tentu tak lama lagi bakal tiba di rumah.
Ketika berjalan dan melewati ruang tengah, saya tercenung di tempat. Apa ini? batin saya, keheranan mendapati aroma melati yang semerbaknya keterlaluan.
Sedikit aneh memang, saya tak merasakan takut sama sekali, tapi justru seperti terpesona akan aromanya yang begitu harum dan semerbak.
“Ada apa, Mas?”
“Kamu mencium bau kembang nggak?”
Baca Juga: Gantungkan Cita-cita Setinggi Langit 14: Kehilangan Ayah untuk Keduakalinya
Ia terdiam sebentar. “Iya, ada bau melati.”
Air muka adik saya memancarkan ketakutan. Lalu, ia berlari hendak keluar rumah, tapi tercegat oleh kedatangan sisa anggota keluarga saya yang lain.
Ibu dan Bapak mendekat ke arah saya yang masih berdiri mematung.
“Eneng opo?” tanya Ibu.
“Kembang melati, Mak. Nyium ora?”
Ibu mengangguk, tapi langsung berlalu.
“Bibi atau mbahmu mungkin yang sedang menengok. Sudah, biarkan saja,” tambah Bapak, lantas berlalu ke belakang.
Masih dalam posisi berdiri, saya seketika terbayang dua wajah yang sudah pergi itu.
Dan seperti kata Bapak, saya membiarkannya saja. Toh, mereka tidak mengganggu. (Seperti dikisahkan Wahid Kurniawan di Koran Merapi) *