Menjelang Kasultanan Mataram berdiri, Pangeran Singosari pernah menjadi senopati perang yang bertugas menaklukkan kembali kadipaten-kadipaten yang ‘mbalelo’, yang ingin memisahkan diri dari Kasultanan Mataram. Setelah Kasultanan Mataram berdiri, Pangeran Singosari akan diangkat menjadi adipati, namun beliau menolak.
MESKI telah mendapat jaminan kehormatan dan kemakmuran di keraton, Pangeran Singosari tetap memilih keluar dari istana, berkelana ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam sebagaimana diajarkan oleh Ki Ageng Pemanahan, ayahandanya yang juga gurunya.
Beliau berjuang untuk kejayaan Kasultanan Mataram sebagai ibadah horisontal dan menyebarkan agama Islam sebagai ibadah vertikal menuju Ridhlo Allah SWT.
Dalam pengembaraannya, Pangeran Singosari menggunakan nama samaran Raden Santri agar tidak diketahui oleh punggawa-punggawa Kasultanan Mataram.
Baca Juga: Nonton Film Tjoet Nja' Dhien Gratis di Mola
Karena sebenarnya beliau masih dibutuhkan pihak keraton yang baru berdiri itu. Setelah mengembara dari dusun ke dusun, akhirnya beliau menetap di sebuah dusun di tepian sungai Lamat dan sungai Blongkeng yang kini bernama dusun Santren.
Setelah beliau wafat dimakamkan di puncak sebuah bukit di desa itu yang dahulu banyak ditumbuhi rumpun bambu, sehingga kini nama desa itu disebut ‘Gunung Pring’.
Pada masa hidupnya Kyai Raden Santri bermukim di dusun yang kini bernama Santren sekitar tahun 1600-an. Sebagai seorang mubaligh beliau sering berkholwat, menyepi untuk mujahadah taqorruban ilallah di Bukit Gunungpring.
Pada suatu hari ketika beliau pulang dari bukit tersebut perjalanannya melewati sungai Blongkeng yang berhulu di gunung Merapi, terjadi banjir besar. Kemudian beliau berkata, ”Air berhentilah kamu, aku akan lewat.”
Baca Juga: Misteri Ruang 13: Ada Suara Laki-laki Mendengkur dari Speaker Komputer
Maka atas izin Allah SWT banjir di sungai itu berhenti. Konon, arus airnya bisa ‘dihentikan’ dan mengeras menjadi batu yang menonjol (mencongol - Bhs. Jawa) di tengah sungai yang disebut “Watu Congol”. Sebutan itu kini menjadi nama sebuah dusun di desa Gunungpring.
Di dusun Santren ini Kyai Raden Santri dikaruniai seorang putra bernama Krapyak Hanyokrowati yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Simbah Kyai Krapyak I, yang makamnya berada di belakang masjid Santren. Sebagai penerus perjuangan ayahandanya untuk menyebarkan agama Islam, Kyai Krapyak I oleh Allah SWT juga diberi ‘karomah’ sebagai tanda ‘kewalian’ beliau. (Ditulis: Amat Sukandar)