Sendang yang dikeramatkan warga sekitar banyak menyisakan cerita mistis. Termasuk sendang di Desa Ngrawan. Warga sekitar selalu membuat ritual setiap tahun di sendang, agar tidak terjadi musibah di kampung.
KERAP kali tiap Tyas berkenalan dengan orang baru, ia enggan menyebut nama Dukuh tempatnya berasal. Ia akan menjawab dengan nama Desa atau Kecamatan. Bukan soal tidak mencintai tanah kelahiran tetapi reaksi dan kesan orang baru itulah yang membuat sebal.
"Berarti daerahmu itu rawan ya? Rawan bencana atau apa?"
Baca Juga: Mendadak Tercium Bau Kemenyan
Huft, begitulah kebanyakan tanggapan orang dari luar daerah itu. Maka dengan ekspresi jengkel, Tyas menyangkal. Jika sempat ia pun akan menjelaskan asal usul penamaan dari Dukuh Ngrawan sebagaimana yang diceritakan kakek.
Ngrawan berasal dari kata rawa. Dahulunya sebelum dihuni manusia, daerah itu berupa rawa. Namun setelah kedatangan manusia yang bermukim, berkembang biak dan membentuk peradaban, rawa yang dahulu menjadi identitas kini hampir sudah tidak ada.
Sisa dari rawa hanyalah sebuah sendang yang dikeramatkan. Sehari-harinya warga sekitar memanfaatkan mata airnya untuk berbagai keperluan dengan mengedepankan norma yang diyakini.
Baca Juga: Keikhlasan dan Kejujuran Mengantar Basir Mendapatkan Pekerjaan yang Diidamkan
Sebab warga desa percaya ada makhluk gaib yang lebih dahulu menghuni sebelum manusia. Karena itu setahun sekali pada hari Jumat Legi diadakan ritual nyadran sendang sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Esa. Karena hanya atas rahmat dan karuniaNya, manusia dan makhluk lainnya dapat hidup selaras.
Inti dari ritual ini adalah bergotong royong membersihkan dan menguras sendang serta kondangan. Setiap rumah membawa nasi ambeng sederhana yang terdiri dari dua macam bahan yaitu nasi dan mie goreng.
Berjalannya waktu, generasi muda dengan paham barunya mulai menjejalkan pemahamannya.
Ritual sederhana yang sudah turun temurun dianggap sebagai perbuatan haram. Ritual pun ditinggalkan.
Baca Juga: Bulus Penghuni Sungai Widas itu Minta Dikembalikan
Suatu kali Tyas mengunjungi ibu, di kampung kelahiran. Setelah menikah ia memang tinggal bersama suami, beda Kecamatan. Ibu yang sedang menyiapkan nasi ambeng, mencuatkan tanya Tyas.
"Kondangan ke mana, Bu?"
"Sendang. Sekarang digiatkan lagi setelah kejadian kemarin."
"Kejadian apa?" Tyas kaget.
"Apa ibu belum pernah bercerita?" tanya ibu. Tyas menggeleng.