"Naik-naik ke puncak gunung. Tinggi tinggi sekali...." Begitulah, rumah yang semula sepi, dan selalu lengang, berubah menjadi riuh penuh gelak tawa.
Tidak puas hanya bernyanyi-nyanyi, anak-anak kecil itu juga mengajak bermain petak umpet, bola bekel, sondah- mandah, dan lompat tali.
Seakan tidak puas dan tidak merasa capek, anak-anak tersebut tiada berhenti terus saja mengajak Bu Tiwi untuk bermain dan bermain.
Mbok Siwuh terheran-heran memperhatikan majikannya.
Dia melihat Bu Tiwi sejak tadi sore bernyanyi-nyanyi, bertepuk tangan, berbaris, kadang berlompatan, sendiri.
Tidak ubahnya seperti Guru TK yang sedang bermain dengan muridnya.
Akhirnya Mbok Siwuh pun memberanikan diri untuk menegurnya.
"Sampun jam sanga langkung, Bu. Mangga dhahar rumiyin," ujar Mbok Siwuh.
Bu Tiwi kaget. Bersamaan dengan itu enam bocah 'sobat kecil'- nya hilang dari pengelihatannya.
Suasana kembali seperti semula, sepi, sendiri. Namun hati Ibu Guru tersebut hepi.
Bu Tiwi pun mengajak Mbok Siwuh untuk bersama-sama berdoa.
Memohon agar Gusti Allah memberikan tempat yang sebaik-baiknya untuk 'sobat-sobat kecil'- nya. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *