Semakin jauh kumelangkah debaran jantungku semakin cepat. Tanganku mulai menyentuh sesuatu. Kedua tanganku menyentuh bilik bambu.
Mungkin aku tersesat terlalu jauh. Aku mulai membuka sedikit-demi sedikit penutup mata. Astaga entah berada di negeri apa aku ini.
Tidak ada beringin kembar tidak ada teman-temanku. Dari balik bilik bambu terdengar percakapan antara laki-laki dan perempuan. Aku mulai mencari celah untuk mengamatinya.
Baca Juga: Cerita Hidayah, Lalai dalam Hal Waktu Maka Rezeki yang Sudah di Depan Mata pun Menjauh
Mereka seperti manusia normal pada umumnya. Hanya saja tubuh mereka begitu besar dengan kulit hitam pekat. Rambut mereka gimbal dan bola mata yang besar.
Terlihat juga dua anak perempuan sedang bermain congklak. Tiba-tiba mereka menghentikan percakapan. Sepertinya kehadiranku mengusik ketenangan mereka. Laki-laki itu menghampiriku.
Aku pun bergegas berlari sekuat tenaga. Semakin aku berlari maka semakin tidak bisa berhenti. Sepanjang jalan penuh dengan orang-orang bertubuh besar.
Mereka sangat tidak nyaman dengan kehadiranku. Beberapa orang pun mengejarku. Keseimbanganku mulai goyah hingga akhirnya kakiku tersangkut bambu melengkung. Aku tersungkur di tanah.
Baca Juga: Syarat Pemimpin Berdasar Al Baqarah Ayat 247, Harus Pandai Ilmu dan Kuat Secara Fisik
“Santi kau tidak apa-apa?” tanya Rio.
Aku pun terkejut dan semakin bingung dengan situasi ini. Tiba-tiba saja aku berada di alun-alun tepat di depan beringin kembar berada.
Rasanya tidak mungkin kalau hanya halusinasi. Tanganku masih menggenggam daun bambu yang tak sengaja tertarik sebelum akhirnya terjatuh. Aku tak menyangka akan tersesat di dunia lain. (Seperti dikisahkan Iis Suwartini UAD di Koran Merapi) *