HARIAN MERAPI - Nama Ki Ageng Makukuhan atau Ki Ageng Kedu sangat harum di kawasan
Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Karena dari darma baktinya dalam menyiarkan
agama Islam di daerah ini,
hampir semua warga di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro mengagungkan namanya, lebih-lebih para muridnya. Ketika Ki Ageng Makukuhan wafat tahun 1497 M di desa Kedu, jenazahnya menjadi rebutan para kawula di wilayah Sumbing – Sindoro.
Jenazah Ki Ageng Kedu diusung mendaki ke puncak Gunung Sumbing. Sampai di dekat desa Dekol, para pengusung jenazah merasa lelah dan istirahat sebentar untuk minum.
Baca Juga: Ki Ageng Makukuhan sosok penyebar agama Islam di kawasan Gunung Sumbing - Sindoro
Tempat untuk beristirahat itu, kini disebut desa nDayan. Setelah rasa lelah menghilang,
perjalanan mengusung jenazah dilanjutkan. Sampai di suatu tempat ada salah seorang
pengusung jenazah yang ingin buang air besar dan mereka berhenti lagi.
Tempat ini kini disebut desa Pablengan. Ketika perjalanan sampai di dusun Cepit desa Pagergunung, mereka berhenti lagi untuk melaksanakan sholat. Tempat untuk bersembahyang itu kini disebut Kramat di dusun Wonosari.
Perjalanan mereka melewati Watu Lanang dan juga melewati padang pasir gunung Sumbing. Ini merupakan perjalanan yang cukup berat, sehingga ketika mereka sampai di padang pasir ini semua merasa sangat kelelahan.
Karena sangat lelahnya, para pengusung jenazah itu semuanya tertidur, lupa pada jenazah Ki Ageng Kedu yang diusungnya. Ketika mereka bangun, sangat terkejut karena jenazah Ki Ageng Kedu telah hilang (moksha).
Dicari kesana kemari tidak ditemukan. Karena sebenarnya Ki Ageng Kedu telah moksha, wafat dan musnah bersama raganya. Dicari kemana pun tidak akan ketemu. Liang kubur yang telah terlanjur dibuat, tidak jadi digunakan.
Meski demikian, liang kubur itu karena kekuasaan Gusti Allah SWT, ketempatan daya ghaib. Siapa pun yang dapat masuk ke dalam liang kubur itu, akan mendapatkan kesaktian yang luar biasa.
Dari peristiwa wafatnya Ki Ageng Kedu ini, ada petilasan-petilasan yang sampai sekarang menjadi “pundhen” atau tempat yang dihormati. Tempat ini biasanya untuk penyelenggaraan acara selamatan oleh warga desa.
Tempat-tempat tersebut adalah Desa Dekol, tempat untuk istirahat minum, di sini ada mataair Tuk Dayan. Dusun Cepit desa Pagergunung, tempat untuk buang air besar, di sini ada mataair yang disebut Tuk Pablengan.
Dukuh Wonosari, tempat sembahyang, yang kini disebut Kramat. Di sini ada makam-makam murid Ki Ageng Kedu yang dulu melanjutkan ajarannya yaitu Nyi Rantamsari, Nyi Gambirwangi dan Nyi Gadhungmlathi.